KEPERAWATAN
KLINIK IIIB
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA ATRESIA BILLIARIS
MAKALAH
oleh:
Kelompok
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karuni-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini, dengan judul Asuhan Keperawatan
pada Atresia Billiaris. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terimakasih yang tulus kepada:
1.
Ns. Lantin Sulistyorini, M.Kes., selaku PJMK
mata kuliah Ilmu Keperawatan Klinik III B;
2.
Rekan-rekan
satu kelompok yang sudah bekerjasama dan berusaha semaksimal mungkin sehingga
makalah ini dapat terealisasi dengan baik;
3.
Semua pihak
yang secara tidak langsung membantu terciptanya makalah ini yang tidak dapat
disebutkan satu per satu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jember, April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1
1.1
Latar Belakang
1
1.2
Tujuan
2
1.3
Implikasi Keperawatan
3
BAB 2. TINJAUAN TEORI
4
2.1
Pengertian
4
2.2
Epidemiologi
5
2.3
Etiologi
6
2.4
Tanda dan Gejala
7
2.5
Patofisiologi
7
2.6
Komplikasi dan Prognosis
8
2.7
Pengobatan
9
2.8
Pencegahan
11
BAB 3. PATHWAYS
12
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN
13
4.1
Pengkajian
13
4.2
Diagnosa Keperawatan
18
4.3
Perencanaan Keperawatan
19
4.4
Implementasi Keperawatan
23
4.5
Evaluasi
25
BAB 5. PENUTUP
27
5.1
Kesimpulan
27
5.2
Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
28
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Atresia billiaris adalah suatu keadaan dimana terjadi
gangguan dari sistem billier ekstrahepatic. Atresia billiaris
merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi
saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia billiaris
terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan progresif pada duktus billier ekstrahepatik sehingga
menyebabkan hambatan aliran empedu. Karakteristik
dari atresia billiaris adalah tidak terdapatnya sebagian sistem
billier antara duodenum dan hati sehingga terjadi hambatan aliran empedu dan
menyebabkan gangguan fungsi hati tetapi tidak menyebabkan kern icterus karena
hati masih tetap membentuk konjugasi bilirubin dan tidak dapat menembus blood
brain barier. Penyebab atresia billiaris belum dapat dipastikan. Atresia billiaris
akan mengakibatkan fibrosis dan sirosis hati pada usia yang sangat dini, bila
tidak ditangani segera. Jika operasi tidak dilakukan maka angka keberhasilan
hidup selama 3 tahun hanya berkisar 10% dan rata-rata meninggal pada usia 12
bulan. Tindakan
operatif atau bedah dapat dilakukan untuk penatalaksanaannya.
Di dunia secara keseluruhan dilaporkan angka kejadian
atresia billiaris sekitar 1:1000-15000 kelahiran hidup, lebih sering pada
wanita daripada laik-laki. Rasio atresia billiaris antara anak perempuan dan
laki-laki 1,41:1 dan angka kejadian lebih sering pada bangsa Asia. Di
Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran
hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000 kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6
dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas tercatat 6.5 dari 100.000 kelahiran
hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari 100.000 kelahiran
hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di
Jepang menderita atresia billier.
Dari 904 kasus atresia billier
yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia billier di dapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%),
Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta penyebab kolestasis obstruktif yang
paling banyak dilaporkan (90%) adalah atresia billiaris dan pada
tahun 2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit
kuning akibat kelainan fungsi hati Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya antara
tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di Instalansi Rawat
Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati
didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J, 2010).
Deteksi dini kemungkinan adanya atresia billiaris
sangat penting sebab keberhasilan pembedahan hepato-portoenterostomi (Kasai)
akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Keberhasilan operasi
sangat ditentukan terutama usia saat dioperasi, yaitu bila dilakukan sebelum
usia 2 bulan, keberhasilan mengalirkan empedu 80%, sementara sesudah usia
tersebut hasilnya kurang dari 20%. Bagi penderita atresia billiaris
prosedur yang baik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke
usus. Selain itu, terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang
menderita atresia billiris. Penyuluhan yang meliputi semua
aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan
harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera sesudah pembedahan
portoenterostomi, asuhan keperawatannya sama dengan yang dilakukan pada setiap
pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian
obat dan terapi gizi yang benar, termasuk penggunaan formula khusus, suplemen
vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus mungkin
menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan
seperti mandi rendam atau memotong kuku jari-jari tangan (Donna L. Wong, 2008)
1.2 Tujuan
1.2.1
Mengetahui pengertian dari penyakit atresia billiaris
1.2.2
Mengetahui penyebab timbulnya penyakit atresia
billiaris
1.2.3
Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit atresia
billiaris
1.2.4
Mengetahui pemeriksaan diagnostic dari penyakit
atresia billiaris
1.2.5
Mengetahui penatalaksanaan dari penyakit atresia
billiaris
1.2.6
Mendapatkan gambaran tentang konsep penyakit atresia
billiaris
1.2.7
Mengertahui asuhan keperawatan dari penyakit atresia
billiaris.
1.3 Implikasi Keperawatan
1.3.1
Perawat dapat memiliki
pengetahuan yang lebih luas tentang atresia billiaris
sehingga dapat melakukan asuhan keperawatan secara profesional
1.3.2
Perawat diharapkan
dapat menjadi pedamping yang cermat untuk klien dalam memberikan asuhan
keperawatan pada anak dengan penyakit atresia billiaris
1.3.3
Perawat dapat
memberikan educator terhadap klien sehingga klien dapat memahami tentang
penyakit atresia billiaris.
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Atresia Billier adalah
suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi
satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi
dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia bilier
merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang akhirnya menjadi
duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian. (Chandrasoma
& Taylor,2005)
Atresia biliary
merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus
biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten
dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris,
dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran
Dorland 2002: 206)
Atresia Billier adalah
suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang
secara normal. Atresia biliaris adalah kelainan konginetal yang ditandai dengan
obstruksi atau tidak adanya duktus atau saluran empedu. Atresia bilier
merupakan suatu defek congenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau
obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik.
Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung
empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika
tidak diobati bisa berakibat fatal.
Tipe- tipe
atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
a.
Tipe yang dapat dioperasi / Operable/
correctable.
Jika
kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari
saluran-saluran ekstrahepatik empedu paten.
b.
Tipe yang tidak dapat dioperasi /
Inoperable/ incorrectable
Jika kelainan /
sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-akhir ini dapat
dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal. Tidak
bersifat paten seperti pada tipe operatif.
Klasifikasi
dengan menggunakan system klasifikasi Kasai, cara ini banyak digunakan.
Mengklasifikasikan kasus atresia biliaris berdasarkan lokasi dan tingkat
patologinya. Klasifikasi atresia bliaris sesuai dengan area yang terlibat.
a.
Tipe I: saluran empedu umumnya paten pada
daerah proksimal.
b.
Tipe II: atresia pada saluran empedu dapat terlihat,
dengan sumbatan saluran empedu ditemukan pada porta hepatis.
c.
Tipe IIa: fibrosis dan saluran empedu umumnya
bersifat paten
d.
Tepi IIb: umumnya duktus biliaris dan duktus
hepatic tidak ada.
e.
Tipe III : lebih mengacu pada terputusnya
duktus hepatic kanan dan kiri sampai pada porta hepatic. Bentuk atresia ini
adalah umum terjadi, sekitar lebih dari 90% kasus
2.2 Epidemiologi
Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Kondisi ini
jarang terjadi, prevalensinya 1 : 15.000 kelahiran. Insidensi lebih banyak
terjadi pada anak-anak asia dan anak kulit hitam. Di US, sekitar 300 bayi yang
lahir setiap tahunnya dengan kondisi atresia billiaris. Bentuk janin-embrio
yang ditandai dengan kolestasis awal, muncul dalam 2 minggu pertama kehidupan,
dan menyumbang 10-35% dari semua kasus. Dalam bentuk ini, saluran-saluran
empedu terputus saat lahir, dan 10-20% dari neonatus yang terkena dampak telah
dikaitkan cacat bawaan, termasuk Situs
inversus , polysplenia , malrotasi, atresia usus, dan anomali jantung, antara lain.
Atresia billiaris
dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki
adalah 2:1. Meski jarang tetapi jumlah penderita atresia billiaris yang
ditangani rumah sakit Cipt Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai
37-38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan
fungsi hati. Sedangkan di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Suromo Surabaya
antara tahun 1999-2001 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita
dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati di dapatkan atresia bilier 9
(9,4%).
Dari 904 kasus atresia billiris
yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia billiaris
didapat pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), hispantik (11%), Asia
(4,2) dan Indian Amerika (1,5%). Kasus atresia bilier dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup
di belanda, 5/100.000 kelahiran hidup di perancis, 6/100.000 klahiran hidup di
Inggris, 6,5/100.000 kelhiran hidup di Texas, 7/100.000 kelahiran hidup di
australia, 7,4/100.000 kelahiran hidup di USA, dan 10,6/100.000 kelahiran hidup
di Jepang.
2.3 Etiologi
Penyebab atresia billiaris
tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat proses inflamasi yang
destruktif. Atresia billiaris
terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun
diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu
ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi
diduga karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan, atau
kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine.
Penyebab atresia masih kontroversial,
beberapa ahli percaya bahwa hal ini terjadi akibat infeksi intrauterine.
Atresia biasanya hanya mengenai duktus biliaris ekstrahepatik, duktus
intrahepatik lebih jarang terkena. Atresia biliaris komplit yang mengenai
seluruh system menyebabkan kematian yang tinggi. Hati menunjukan gambaran
obstruksi hebat duktus biliaris yang besar dengan sirosis biliaris sekunder.
Tanpa pengobatan, kematian terjadi pada masa bayi. Terapi bedah dapat berhasil
pada kasus atresia parsial. Pada kasus atresia yang mengenai duktus
intrahepatik, transplantasi hati merupakan satu-satunya harapan.
Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris
adalah bukan merupakan penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris
tidak diturunkan dari keluarga. Atreia billiaris
paling sering disebabkan karena sebuah peristiwa yang terjadi saat bayi dalam
kandungan. Kemungkinan hal yang dapat memicu terjadinya atresia billiaris
diantaranya: infeksi virus atau bakteri, gangguan dalam system kekebalan tubuh,
komponen empedu yang abnormal, kesalahan dalam perkembangan hati dan saluran
empedu.
2.4 Tanda dan Gejala
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu
berupa:
a.
Air kemih bayi
berwarna gelap
b.
Kulit berwarna
kuning
c.
Tinja berwarna
pucat
d.
Berat badan
tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
e.
Hati membesar.
f.
Pada saat usia
bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
1.
Gangguan
pertumbuhan
2.
Gatal-gatal
3.
Rewel
4.
Tekanan darah
tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus
dan limpa ke hati).
2.5
Patofisiologi
Penyebabnya
sebenarnya atresia billiaris
tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab
atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan
menunjukkan bahwa atresia billiaris
tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir. Keadaan ini menunjukan bahwa
atresia billiaris
terjadi pada akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi
dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara
progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu
intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada
saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar
hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi
melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus
dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi
yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja
berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi billier menyebabkan
akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga menimbulkan gejala pruritus pada
kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K
tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan
gagal tumbuh pada anak.
2.6
Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia billiaris
yaitu:
a.
Obstruksi pada
saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar
hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan
empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati.
Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal sehingga akan
mengakibatkan gagal hati.
b.
Progresif
serosis hepatis terjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh prosedur
pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan penggumpalan.
c.
Degerasi secara
gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegali.
d.
Karena tidak
ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi,
kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
e.
Hipertensi
portal
f.
Pendarahan yang
mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah di esofagus dan perut,
dapat menyebabkan Varises Esophagus.
g.
Asites
merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang disebabkan penurunan
produksi albumin dalam protein plasma.
h.
Komplikasi
pasca bedah yakni kolangitis menaik.
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan. Progresi
fibrosis hepatic sering terjadi walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif,
meskipun 30 – 50 % pasien mungkin tetap anikterik. Angka harapan hidup
transplantasi jangka pendek sekitar 75 %. Menurut Carlassone & Bensonsson
(1977) menyatakan bahwa operasi atresia billiaris
tipe “noncorrectable” adalah buruk sekali sebelum adanya operasi Kasai, tetapi
sampai sekarang hanya sedikit penderita yang dapat disembuhkan. Bila pasase
empedu tidak dikoreksi, 50 % anak akan meninggal pada tahun pertama kehidupan,
25 % pada tahun ke dua, dan sisanya pada usia 8-9 tahun. Penderita meninggal
akibat kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan hipertensi portal.
2.7
Pengobatan
a.
Medik
1)
Terapi
medikamentosa yang bertujuan untuk :
- Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama
asam empedu dengan memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis
peroral misal : luminal
- Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan
memberikan asam ursodeoksikolat 310 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis
peroral misal : urdafalk
2)
Terapi nutrisi
yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan berkembang seoptimal
mungkin yaitu:
- Pemberian makanan yang mengandung middle chain
triglycerides(MCT)untuk mengatasi malabsorpsi lemak. Contoh : susu
pregestinil dan pepti yunior.
- Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam
lemak.
- Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang
efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar
kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
3)
Terapi Bedah
Setelah
diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah
Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu
tipe Idan II. Pada atresia bilier yang Non Correktable terlebih
dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi duktus bilier
yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih
ada duktus bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun
tidak ada duktus bilier yang paten tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan
untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk
persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang). Pembedahan itu untuk
menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam
periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat
dikurangi.
4)
Pemeriksaan
diagnostik
- Darah lengkap dan fungsi hati
Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya
hiperbilirubinemia direk, serta peningkatan kadar serum
transaminase,fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase yang
dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.
- Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami
ikterus, tetapi urobilin dalam urine negative, hal ini menunjukkan
adanya bendungan saluran empedu total.
- Pemeriksaan feses
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin
dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
- Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan
dengan pengambilan jaringan hati.
- USG abdomen
Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda
Triangular cord sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
b.
Keperawatan
Terdapat beberapa intervensi
keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan
yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan
yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera pembedahan
portoenterestomi asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada setiap
pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian
obat dan terapi gizi yang benar termasuk penggunaan formula khusus, suplemen
vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus menjadi
persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti
mandi rendam dan memotong kuku jari tangan.
Anak-anak dan keluarga memerlukan
dukungan psikososial khusus. Prognosis yang tidak pasti, gangguan rasa nyaman,
dan penantian untuk tranpalantasi dapat menimbulkan stress yang cukup besar.
Perawatan yang lama di rumah sakit, terapi farmakologis dan nutrisi dapat
membawa beban financial yang besar pada keluarga.
2.8 Pencegahan
Dapat
mengetahui setiap faktor risiko yang dimiliki, sehingga bisa mendapatkan prompt
diagnosis dan pengobatan jika saluran empedu tersumbat. Penyumbatan itu sendiri
tidak dapat dicegah. (Attasaranya S, Fogel EL,2008)
Dalam hal ini
perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua untuk
mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan
saluran empedu), dengan keadaan fisik yang menunjukan anak tampak
ikterik, feses pucat dan urine berwarna gelap (pekat). (Sarjadi,2000)
BAB 3 PATHWAY
BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN
4.1
Pengkajian
a.
Identitas
Meliputi
Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya. Hal ini dilakukan sebagai
standar prosedur yang harus dilakukan untuk mengkaji keadaan pasien. Umumnya
Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Atresia bilier dtemukan
pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak
laki-laki adalah 2:1.
b.
Keluhan Utama
Keluhan
utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam 2 minggu sampai 2
bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada kulit dan mata bayi yang baru
lahir. Jaundice terjadi karena darah bayi mengandung kelebihan bilirubin,
pigmen berwarna kuning pada sel darah merah.
c.
Riwayat Penyakit
Sekarang
Anak dengan Atresia Biliaris mengalami Jaundice
yang terjadi dalam 2 minggu atau 2 bulan
lebih, apabila anak buang air besar
tinja atau feses berwarna pucat. Anak juga mengalami distensi abdomen,
hepatomegali, lemah, pruritus. Anak tidak mau minum dan kadang disertai letargi
(kelemahan).
d.
Riwayat
Penyakit Dahulu
Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah
dengan kekebalan tubuh. Selain itu dapat juga terjadi obstruksi empedu
ektrahepatik. yang akhirnya menimbulkan masalah dan menjadi factor penyebab
terjadinya Atresia Biliaris ini.
Riwayat
Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT, Hepatitis, dan Polio.
e.
Riwayat
Perinatal
1)
Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah
menderita infeksi penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan
infeksi virus rubella
2)
Intra natal:
Pada anak
dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi virus atau
bakteri selama proses persalinan.
3)
Post natal:
Pada
anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal hygiene saat
merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan peralatan makan dan peralatan bayi
lainnya juga kurang diperhatikan oleh orang tua ibu.
f.
Riwayat
Kesehatan Keluarga
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya
pada ibu pernah menderita penyakit terkait dengan imunitas HIV/AIDS, kanker,
diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella. Akibat dari penyakit yang di
derita ibu ini, maka tubuh anak dapat menjadi lebih rentan terhadap penyakit
atresia biliaris. Selain itu terdapat kemungkinan adanya kelainan kongenital
yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.
g.
Pemeriksaan
Tingkat Perkembangan
Pemeriksaan tingkat perkembangan terdiri dari adaptasi sosial,
motorik kasar, motorik halus, dan bahasa. Tingkat perkembangan pada pasien
atresia biliaris dapat dikaji melalui tingkah laku pasien maupun informasi dari
keluarga. Selain itu, pada anak dengan atresia biliaris, kebutuhan akan asupan
nutrisinya menjadi kurang optimal karena terjadi kelainan pada organ hati dan
empedunya sehingga akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya.
h.
Keadaan
Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak
yaitu pola kebersihan yang cenderung kurang. Orang tua jarang mencuci tangan
saat merawat atau menetekkan bayinya. Selain itu, kebersihan botol atau putting
ketika menyusui bayi juga kurang diperhatikan.
i.
Pola Fungsi
Kesehatan
1)
Pola
Aktivitas/Istirahat : Pola aktivitas dan istirahat anak dengan atresia biliaris
terjadi gangguan yaitu ditandai dengan anak gelisah dan rewel yang gejalanya
berupa letargi atau kelemahan
2)
Pola Sirkulasi
: Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris adalah ditandai dengan
takikardia, berkeringat yang berlebih, ikterik pada sklera kulit dan membrane
mukosa.
3)
Pola Eliminasi
: Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu terdapat distensi
abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang berwarna gelap dan pekat.
Feses berwarna dempul, steatorea. Diare dan konstipasi pada anak dengan atresia
biliaris dapat terjadi.
4)
Pola Nutrisi :
Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai dengan anoreksia,nafsu
makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran terhadap lemak dan makanan
pembentuk gas dan biasanya disertai regurgitasi berulang.
5)
Pola kognitif
dan persepsi sensori: pola ini mengenai pengetahuan orang tua terhadap penyakit yang diderita klien
6)
Pola konsep
diri: bagaimana persepsi orang
tua dan/atau anak terhadap pengobatan dan perawatan yang akan
dilakukan.
7)
Pola
hubungan-peran: biasanya peran
orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat dan mengobati anak dengan atresia
biliaris.
8)
Pola
seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau tidak yang
berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang menderita atresia biliaris
biasanya tidak ada gangguan dalam reproduksi.
9)
Pola mekanisme
koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan semangat sembuh bagi anak.
10)
Pola nilai dan
kepercayaan: orang tua selalu
optimis dan berdoa agar penyakit pada
anaknya dapat sembuh dengan cepat.
j.
Pemeriksaan
Fisik
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu
berupa:
1)
Air kemih bayi
berwarna gelap
2)
Tinja berwarna
pucat
3)
Kulit berwarna
kuning
4)
Berat badan
tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
5)
Hati membesar.
6)
Pada saat usia
bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a)
Gangguan
pertumbuhan
b)
Gatal-gatal
c)
Rewel
d)
Tekanan darah
tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus
dan limpa ke hati).
7)
Pemeriksaan
Fisik
a)
Keadaan umum : lemah.
TTV :
Tekanan Darah : terjadi peningkatan terutama pada vena porta
Suhu : Suhu tubuh dalam batas
normal
Nadi : takikardi
RR : terjadi peningkatan RR
akibat diafragma yang
tertekan (takipnea)
b) Kepala dan leher
Inspeksi : Wajah : simetris
Rambut : lurus/keriting, distribusi
merata/tidak
Mata : pupil miosis, konjungtiva
anemis
Hidung : kemungkinan terdapat
pernafasan cuping Hidung
Telinga : bersih
Bibir dan mulut : mukosa biibir kemungkinan terdapat ikterik
Lidah : normal
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar
thyroid dan limfe pada leher
c) Dada
Inspeksi : asimetris, terdapat tarikan
otot bantu pernafasan dan tekanan pada
otot diafragma akibat pembesaran hati (hepatomegali).
Palpasi : denyutan jantung teraba
cepat, terdapat nyeri tekan(-)
Perkusi : Jantung :
dullness
Paru : sonor
Auskultasi : tidak terdengar suara ronchi
kemungkinan terdengar bunyi wheezing
d) Abdomen
Inspeksi : terdapat distensi abdomen
Palpasi : dapat terjadi nyeri tekan
ketika dipalpasi
Perkusi : sonor
Auskultasi : kemungkinan terjadi pada bising
usus
e) Kulit
Turgor kurang, pucat,
kulit berwarna kuning (jaundice)
f) Ekstremitas
Tidak terdapat odem
pada pada extremitas
k.
Pemeriksaan
Penunjang
1)
Laboratorium
a)
Bilirubin
direk dalam serum meninggi (nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl)
karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas.
b)
Tidak ada
urobilinogen dalam urine.
c)
Pada bayi yang
sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat
nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2)
Pemeriksaan
diagnostik
a)
USG yaitu untuk
mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa
dilatasi kristik saluran empedu)
b)
Memasukkan pipa
lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak
ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c)
Sintigrafi
radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu dan
mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak
ditemukan empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik
d)
Biopsy hati
perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung empedu
mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
4.2 Diagnosa Keperawatan
a.
Nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan
penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
b.
Pola nafas
tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh
adanya perasaan sesak pada pasien
c.
Hipertermia
berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik
d.
Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien
ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
e.
Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan
malabsorbsi
f.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
4.3 Perencanaan
Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan: Nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan
penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
Tujuan dan
Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam selama
proses keperawatan, diharapkan pola nutrisi pasien menjadi adekuat
Kriteria Hasil:
a.
BB pasien
stabil
b.
Konjungtiva
tidak anemis
|
1.
Kaji distensi
abdomen
2.
Pantau
masukan nutrisi dan perhatikan frekuensi muntah klien
3.
Timbang BB
setiap hati
4.
Berikan diet
yang sedikit namun sering
5.
Atur
kebersihan oral sebelum makan
6.
Konsulkan
dengan ahli diet sesuai indikasi
7.
Berikan diet
rendah lemak, tinggi serat, dan batasi makanan penghasil gas
8.
Kolaborasikan
pemberian makanan yang mengandung MCT sesuai indikasi
9.
Monitor kadar
albumin, protein sesuai program
10.
Berikan
vitamin-vitamin larut lemak (A, D, E, K)
|
b.
Diagnosa
keperawatan: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi
abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
Tujuan dan
Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan 2 x 24 jam, diharapkan pasien
menunjukkan tanda-tanda pola nafas yang efektif
Kriteria Hasil:
a.
RR mencapai
30-40 napas/mnt
b.
Kedalaman
inspirasi dan kedalaman bernafas
c.
Tidak ada
penggunaan otot bantu nafas pada pasien
|
1.
Kaji distensi
abdomen
2.
Kaji RR,
kedalaman nafas, dan kerja pernafasan
3.
Awasi klien
agar tidak sampai mengalami leher tertekuk
4.
Posisikan
klien semi ekstensi atau eksensi pada saat beristirahat
5.
Kolaborasikan
operasi apabila dibutuhkan
|
c.
Hipertermia
berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik, ditandai oleh peningkatan suhu tubuh, dan pasien demam
Tujuan dan
Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Tujuan: setelah dilakukan pemeriksaan keperawatan 1 x 24 jam
diharapkan suhu tubuh pasien akan kembali menjadi normal
Kriteria Hasil:
a.
Nadi dan
pernapasan dalam rentang normal
b.
Suhu normal
36,50 – 37,50
|
1.
Berikan
kompres air biasa pada daerah aksila, kening, leher, dan lipatan paha
2.
Pantau suhu
minimal setiap 2 jam sekali disesuaikan dengan kebutuhan
3.
Berikan
pasien pakaian tipis
4.
Menipulasi
lingkungan menjadi senyaman mungkin seperti penggunaan kipas angin atau AC
5.
Kolaborasikan
pemberian obat anti piretik sesuai kebutuhan
|
d.
Kekurangan volume cairan berhubungan
dengan tingginya
nausea dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan
muntah pasien
Tujuan dan
Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Tujuan: pasien akan mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit setelah dilakukan perawatan didalam rumah sakit selama 2 x 24 jam
Kriteria Hasil:
a.
Kembalinya
pengisian kapiler darah kurang dari 3 detik
b.
Turgor kulit
membaik
c.
Produksi urin
1-2ml/kgBB/jam
|
1.
Pantau asupan
dan carian pasien perjam (cairan infus, susu per NGT, atau jumlah ASI yang
diberikan
2.
Periksa feses
pasien tiap harinya
3.
Pantau
lingkar perut pasien
4.
Observasi
tanda-tanda dehidrasi
5.
Kolaborasikan
pemeriksaan elektrolit pasien, kadar protein total, albumin, nitrogen urea
darah dan kreatinin serta darah lengkap
|
e.
Gangguan eliminasi
fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
Tujuan dan
Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Tujuan: pola BAB pasien
normal setelah perawatan
yang dilakukan 2 x 24 jam
Kriteria Hasil:
a.
Tidak ada diare
b.
Elektrolit normal
c.
Asam basa normal
|
1. Evaluasi jenis intake makanan
2. Monitor kulit sekitar perianal terhadap adanya
iritasi dan ulserasi
3. Ajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
4. Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk
mencatat warna, volume, frekuensi dan konsistensi feses
5. Kolaborasi jika tanda dan gejala diare menetap
6. Monitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7. Monitor turgor kulit, mukosa oral sebagai
indikator dehidrasi
8. Konsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat
|
f.
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan
Tujuan dan
Kriteria Hasil
|
Intervensi
|
Tujuan: pasien akan dapat beraktivitas secara normal setelah pemeriksaan yang dilakukan 2 x 24 jam
Kriteria Hasil:
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa
disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR
b. Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs)
secara mandiri
c. Keseimbangan aktivitas dan istirahat
|
1. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan
aktivitas
2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
3. Monitor nutrisi
dan sumber energi yang adekuat
4. Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas (takikardi, disritmia,
sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
5. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat
pasien
6. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
|
4.4 Implimentasi Keperawatan
a. Nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan
penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
1)
mengkaji adanya distensi pada abdomen pasien
2)
memantau masukan nutrisi dan frekuensi muntah
3)
menimbang berat badan pasien
4)
mengkolaborasikan pemberian diet pada pasien
sedikit namun sering
5)
mempertahankan kebersihan oral pasien sebelum
makan
6)
mengkonsultasikan dengan ahli diet sesuai
indikasi
7)
memberikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan
batasi makanan penghasil gas
8)
memberikan makanan mengandung MCT sesuai
indikasi
9)
memonitor laboratorium untuk kadar albumin dan
protein sesuai program
10)
memberikan vitamin-vitamin yang larut dalam
lemak
b.
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada
pasien
1)
mengkaji ada tidaknya distensi abdomen klien
2)
mengkaji RR, kedalaman nafas, dan kerja
pernafasan
3)
mengawasi leher klien agar tidak tertekuk atau
memosisikan leher klien semi ekstensi saat istirahat
4)
mempersiapkan operasi apabila diperlukan
c.
Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan
progresif pada duktusbilier ekstrahepatik
1)
memberikan kompres air biasa pada aksila,
kening, leher, dan lipatan paha
2)
memantau suhu minimal setiap 2 jam sekali
sesuai kebutuhan
3)
memberikan pasien pakaian tipis
4)
memanipulasi lingkungan senyaman mungkin bagi
pasien dengan penggunaan AC / kipas angin
d.
Kekurangan volume cairan berhubungan
dengan tingginya
nausea dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan
muntah pasien
1)
memantau asupan dan cairan pasien perjam
2)
memeriksa feses pasien setiap hari
3)
memantau lingkar perut bayi
4)
mengobservasi tanda-tanda dehidrasi pada pasien
5)
mengkolaborasikan pemeriksaan elektrolit, kadar
protein total termasuk albumin, nitrogen urea, darah dan kreatinin serta darah
lengkap
e.
Gangguan eliminasi
fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
1)
Mengvaluasi jenis intake makanan
2)
Memonitor kulit sekitar perianal terhadap
adanya iritasi dan ulserasi
3)
Mengajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
4)
Menginstruksikan pada pasien dan keluarga untuk
mencatat warna, volume, frekuensi dan konsistensi feses
5)
Berkolaborasi jika tanda dan gejala diare
menetap
6)
Memonitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7)
Memonitor turgor kulit, mukosa oral sebagai
indikator dehidrasi
8)
Berkonsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang
tepat
f.
Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan kelemahan
1)
Mengobservasi adanya pembatasan klien dalam
melakukan aktivitas
2)
Mengkaji adanya faktor yang menyebabkan
kelelahan
3)
Memonitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
4)
Memonitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas (takikardi, disritmia,
sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
5) Memonitor pola
tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
6) Membantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
mampu dilakukan
4.5 Evaluasi
a.
Diagnosa
1: Nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan
penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
S: Orang tua pasien mengatakan jika sang anak
tidak mau menghabiskan makanannya
O:
BB menurun, Muntah, dan konjungtiva tampak anemis
A:
Masalah teratasi
P:
Lanjutkan intervensi
b.
Diagnosa
2: Pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen
ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
S: Orang
tua mengeluhkan anaknya sering sesak
O:
adanya sesak nafas, RR: 60 x/menit
A:
masalah teratasi sebagian
P:
lanjutkan intervensi
c.
Diagnosa
3: Hipertermia
berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik
S: Pasien mengatakan tubuhnya panas
O: suhu meningkat, takikardi, dan RR meningkat
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
d.
Diagnosa
4: Kekurangan
volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien
ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
S: Keluarga mengatakan sejak pagi pasien
muntah-muntah setelah makan
O: muntah sebanyak ¼ gelas kecil, wajah
terlihat pucat dan sianosis
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
e.
Diagnosa 5: Gangguan eliminasi fekal (diare)
berhubungan dengan malabsorbsi
S: keluarga mengatakan
pasien sudah mulai berkurang BABnya
O: pasien BAB 2 kali dalam
sehari, dengan konsentrasi cair
A: masalah teratasi
sebangian
P: lanjutkan intervensi
f.
Diagnosa 6: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelemahan
S: pasien mengatakan sudah dapat beraktivitas, dan
tidak lelah
O: nadi 95 kali / menit, RR: 21 kali / menit
A: masalah teratasi
P: lanjutkan intervensi
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Atresia Bilier
adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau
obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik
(Suriadi dan Rita Yulianni, 2006). Penyebab atresia bilier tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga
akibat proses inflamasi yang destruktif. Atresia biliar terjadi karena adanya
perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi
penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui.
Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga karena
kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan, atau kemungkinan
infeksi virus dalam intrauterine.Dalam hal ini pengobatan tidak memberikan efek
yang terlalu besar. Satu-satunya terapi yang memberikan harapan kesembuhan bagi
atresia biliar adalah pembedahan. Secara historis, berbagai operasi telah
disusun, termasuk reseksi hepatik parsial dengan drainase luka permukaan,
penusukan hepar dengan tabung hampa, dan pengalihan duktus limfatik torasikus
kedalam rongga mulut. Dalam hal pencegahannya perawatdiharapkan dapat
memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua untuk mengantisipasi setiap
faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan saluran empedu),
dengan keadaan fisik yang menunjukan anak tampak ikterik, feses pucat dan
urine berwarna gelap (pekat). (Sarjadi,2000)
5.2 Saran
Saran bagi perawat, sebaiknya
seorang perawat dapat melaksanakan asuhan keperawatan kepada klien atresia biliaris sesuai dengan indikasi penyakit, dan sebaiknya dengan baik dan benar sesuai standar.
DAFTAR PUSTAKA
Attasaranya S, 2008. Choledocholithiasis,
ascending cholangitis, and gallstone pancreatitis.http://health.nytimes.com/health/guides/disease/cholangitis/overview.html. (diakses pada tanggal 11 maret 2015 pukul 16.22)
Craft-Rosernberg, Martha & Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan. Yogyakarta:
Digna Pustaka
Parlin.1991.Atresia Bilier. Jakarta:
Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M.2006. Patofisiologi, Konsep Klinis, Proses-proses Penyakit, Volume 1, edisi
6.J akarta: EGC
Sarjadi, 2000. Patologi umum dan sistematik. Jakarta.
EGC
Sloane, Ethel.2004. Anatomi dan Fisiologi untk Pemula. Jakarta:EGC
Smeltzer, Suzanne C., dan Bare, Brenda G.. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith M.2007. Buku
Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta:
EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman
Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2012/05/pustaka_unpad_atresia_biliaris.pdf( diakses tanggal 10 Maret 2015)
http://mka.fk.unand.ac.id/images/articles/No_2_2009/hal_190-195-isi.pdf (diakses tanggal 10 Maret 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar