Jumat, 11 September 2015

ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA BILIARIS





KEPERAWATAN KLINIK IIIB
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ATRESIA BILLIARIS




MAKALAH





oleh:
Kelompok





PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuni-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, dengan judul Asuhan Keperawatan pada Atresia Billiaris. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada:
1.    Ns. Lantin Sulistyorini, M.Kes., selaku PJMK mata kuliah Ilmu Keperawatan Klinik III B;
2.    Rekan-rekan satu kelompok yang sudah bekerjasama dan berusaha semaksimal mungkin sehingga makalah ini dapat terealisasi dengan baik;
3.    Semua pihak yang secara tidak langsung membantu terciptanya makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.





Jember, April 2015
Penulis








DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3 Implikasi Keperawatan 3
BAB 2. TINJAUAN TEORI 4
2.1 Pengertian 4
2.2 Epidemiologi 5
2.3 Etiologi 6
2.4 Tanda dan Gejala 7
2.5 Patofisiologi 7
2.6 Komplikasi dan Prognosis 8
2.7 Pengobatan 9
2.8 Pencegahan 11
BAB 3. PATHWAYS 12
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN 13
4.1 Pengkajian 13
4.2 Diagnosa Keperawatan 18
4.3 Perencanaan Keperawatan 19
4.4 Implementasi Keperawatan 23
4.5 Evaluasi 25

BAB 5. PENUTUP 27
5.1 Kesimpulan 27
5.2 Saran 27
DAFTAR PUSTAKA 28



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Atresia billiaris adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan dari sistem billier ekstrahepatic. Atresia billiaris merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia billiaris terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus billier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Karakteristik dari atresia billiaris adalah tidak terdapatnya sebagian sistem billier antara duodenum dan hati sehingga terjadi hambatan aliran empedu dan menyebabkan gangguan fungsi hati tetapi tidak menyebabkan kern icterus karena hati masih tetap membentuk konjugasi bilirubin dan tidak dapat menembus blood brain barier. Penyebab atresia billiaris belum dapat dipastikan. Atresia billiaris akan mengakibatkan fibrosis dan sirosis hati pada usia yang sangat dini, bila tidak ditangani segera. Jika operasi tidak dilakukan maka angka keberhasilan hidup selama 3 tahun hanya berkisar 10% dan rata-rata meninggal pada usia 12 bulan. Tindakan operatif atau bedah dapat dilakukan untuk penatalaksanaannya.
Di dunia secara keseluruhan dilaporkan angka kejadian atresia billiaris sekitar 1:1000-15000 kelahiran hidup, lebih sering pada wanita daripada laik-laki. Rasio atresia billiaris antara anak perempuan dan laki-laki 1,41:1 dan angka kejadian lebih sering pada bangsa Asia. Di Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000 kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas tercatat 6.5 dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari 100.000 kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di Jepang menderita atresia billier. Dari 904 kasus atresia billier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia billier di dapatkan pada ras Kaukasia  (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta penyebab kolestasis obstruktif yang paling banyak dilaporkan (90%) adalah atresia billiaris dan pada tahun 2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J, 2010).
Deteksi dini kemungkinan adanya atresia billiaris sangat penting sebab keberhasilan pembedahan hepato-portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Keberhasilan operasi sangat ditentukan terutama usia saat dioperasi, yaitu bila dilakukan sebelum usia 2 bulan, keberhasilan mengalirkan empedu 80%, sementara sesudah usia tersebut hasilnya kurang dari 20%. Bagi penderita atresia billiaris prosedur yang baik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Selain itu, terdapat beberapa intervensi  keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia billiris. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera sesudah pembedahan portoenterostomi, asuhan keperawatannya sama dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang benar, termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus mungkin menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam atau memotong kuku jari-jari tangan (Donna L. Wong, 2008)

1.2  Tujuan
1.2.1        Mengetahui pengertian dari penyakit atresia billiaris
1.2.2        Mengetahui penyebab timbulnya penyakit atresia billiaris
1.2.3        Mengetahui manifestasi klinis dari penyakit atresia billiaris
1.2.4        Mengetahui pemeriksaan diagnostic dari penyakit atresia billiaris
1.2.5        Mengetahui penatalaksanaan dari penyakit atresia billiaris
1.2.6        Mendapatkan gambaran tentang konsep penyakit atresia billiaris
1.2.7        Mengertahui asuhan keperawatan dari penyakit atresia billiaris.


1.3  Implikasi Keperawatan
1.3.1        Perawat dapat memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang atresia billiaris sehingga dapat melakukan asuhan keperawatan secara profesional
1.3.2        Perawat diharapkan dapat menjadi pedamping yang cermat untuk klien dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan penyakit atresia billiaris
1.3.3        Perawat dapat memberikan educator terhadap klien sehingga klien dapat memahami tentang penyakit atresia billiaris.











BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Atresia Billier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian. (Chandrasoma & Taylor,2005)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland 2002: 206)
Atresia Billier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal. Atresia biliaris adalah kelainan konginetal yang ditandai dengan obstruksi atau tidak adanya duktus atau saluran empedu. Atresia bilier merupakan suatu defek congenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik. Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal.
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
a.         Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari saluran-saluran ekstrahepatik empedu paten.
b.        Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/  incorrectable
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-akhir ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal. Tidak bersifat paten seperti pada tipe operatif.
Klasifikasi dengan menggunakan system klasifikasi Kasai, cara ini banyak digunakan. Mengklasifikasikan kasus atresia biliaris berdasarkan lokasi dan tingkat patologinya. Klasifikasi atresia bliaris sesuai dengan area yang terlibat.
a.         Tipe I: saluran empedu umumnya paten pada daerah proksimal.
b.        Tipe II: atresia pada saluran empedu dapat terlihat, dengan sumbatan saluran empedu ditemukan pada porta hepatis.
c.         Tipe IIa: fibrosis dan saluran empedu umumnya bersifat paten
d.        Tepi IIb: umumnya duktus biliaris dan duktus hepatic tidak ada.
e.         Tipe III : lebih mengacu pada terputusnya duktus hepatic kanan dan kiri sampai pada porta hepatic. Bentuk atresia ini adalah umum terjadi, sekitar lebih dari 90% kasus

2.2 Epidemiologi
Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Kondisi ini jarang terjadi, prevalensinya 1 : 15.000 kelahiran. Insidensi lebih banyak terjadi pada anak-anak asia dan anak kulit hitam. Di US, sekitar 300 bayi yang lahir setiap tahunnya dengan kondisi atresia billiaris. Bentuk janin-embrio yang ditandai dengan kolestasis awal, muncul dalam 2 minggu pertama kehidupan, dan menyumbang 10-35% dari semua kasus. Dalam bentuk ini, saluran-saluran empedu terputus saat lahir, dan 10-20% dari neonatus yang terkena dampak telah dikaitkan cacat bawaan, termasuk Situs inversus , polysplenia , malrotasi, atresia usus, dan anomali jantung, antara lain.
Atresia billiaris dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi jumlah penderita atresia billiaris yang ditangani rumah sakit Cipt Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai 37-38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Suromo Surabaya antara tahun 1999-2001 dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati di dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).
Dari 904 kasus atresia billiris yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia billiaris didapat pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), hispantik (11%), Asia (4,2) dan Indian Amerika (1,5%). Kasus atresia bilier dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup di belanda, 5/100.000 kelahiran hidup di perancis, 6/100.000 klahiran hidup di Inggris, 6,5/100.000 kelhiran hidup di Texas, 7/100.000 kelahiran hidup di australia, 7,4/100.000 kelahiran hidup di USA, dan 10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang.

2.3 Etiologi
Penyebab atresia billiaris tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat proses inflamasi yang destruktif. Atresia billiaris terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan, atau kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine.
Penyebab atresia masih kontroversial, beberapa ahli percaya bahwa hal ini terjadi akibat infeksi intrauterine. Atresia biasanya hanya mengenai duktus biliaris ekstrahepatik, duktus intrahepatik lebih jarang terkena. Atresia biliaris komplit yang mengenai seluruh system menyebabkan kematian yang tinggi. Hati menunjukan gambaran obstruksi hebat duktus biliaris yang besar dengan sirosis biliaris sekunder. Tanpa pengobatan, kematian terjadi pada masa bayi. Terapi bedah dapat berhasil pada kasus atresia parsial. Pada kasus atresia yang mengenai duktus intrahepatik, transplantasi hati merupakan satu-satunya harapan.
Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris adalah bukan merupakan penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris tidak diturunkan dari keluarga. Atreia billiaris paling sering disebabkan karena sebuah peristiwa yang terjadi saat bayi dalam kandungan. Kemungkinan hal yang dapat memicu terjadinya atresia billiaris diantaranya: infeksi virus atau bakteri, gangguan dalam system kekebalan tubuh, komponen empedu yang abnormal, kesalahan dalam perkembangan hati dan saluran empedu.

2.4 Tanda dan Gejala
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
a.    Air kemih bayi berwarna gelap
b.    Kulit berwarna kuning
c.    Tinja berwarna pucat
d.   Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
e.    Hati membesar.
f.     Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
1.    Gangguan pertumbuhan
2.    Gatal-gatal
3.    Rewel
4.    Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).

2.5 Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia billiaris tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia billiaris tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir. Keadaan ini menunjukan bahwa atresia billiaris terjadi pada akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi billier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak.

2.6 Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia billiaris yaitu:
a.    Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal sehingga akan mengakibatkan gagal hati.
b.    Progresif serosis hepatis terjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh prosedur pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan penggumpalan.
c.    Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegali.
d.   Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
e.    Hipertensi portal
f.     Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah  di esofagus dan perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.
g.    Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang disebabkan penurunan produksi albumin dalam protein plasma.
h.    Komplikasi pasca bedah yakni kolangitis menaik.
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan. Progresi fibrosis hepatic sering terjadi walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif, meskipun 30 – 50 % pasien mungkin tetap anikterik. Angka harapan hidup transplantasi jangka pendek sekitar 75 %. Menurut Carlassone & Bensonsson (1977) menyatakan bahwa operasi atresia billiaris tipe “noncorrectable” adalah buruk sekali sebelum adanya operasi Kasai, tetapi sampai sekarang hanya sedikit penderita yang dapat disembuhkan. Bila pasase empedu tidak dikoreksi, 50 % anak akan meninggal pada tahun pertama kehidupan, 25 % pada tahun ke dua, dan sisanya pada usia 8-9 tahun. Penderita meninggal akibat kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan hipertensi portal.
2.7  Pengobatan
a.    Medik
1)   Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk :
-       Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu dengan memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis peroral misal : luminal
-       Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan asam ursodeoksikolat 310 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal : urdafalk
2)      Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan berkembang seoptimal mungkin yaitu:
-       Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides(MCT)untuk mengatasi malabsorpsi lemak. Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior.
-       Penatalaksanaan defisiensi  vitamin yang larut dalam lemak.
-       Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
3)      Terapi Bedah
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe Idan II. Pada atresia bilier yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang paten tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang). Pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
4)       Pemeriksaan diagnostik
-        Darah lengkap dan fungsi hati
Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya hiperbilirubinemia direk, serta peningkatan kadar serum transaminase,fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase yang dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.
-       Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus, tetapi urobilin dalam urine negative, hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
-       Pemeriksaan feses
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
-       Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan jaringan hati.
-       USG abdomen
Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda Triangular cord sangat sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
b.    Keperawatan
Terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera pembedahan portoenterestomi asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang benar termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral atau parenteral. Pruritus menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau tindakan seperti mandi rendam dan memotong kuku jari tangan.
Anak-anak dan keluarga memerlukan dukungan psikososial khusus. Prognosis yang tidak pasti, gangguan rasa nyaman, dan penantian untuk tranpalantasi dapat menimbulkan stress yang cukup besar. Perawatan yang lama di rumah sakit, terapi farmakologis dan nutrisi dapat membawa beban financial yang besar pada keluarga.
2.8 Pencegahan
Dapat mengetahui setiap faktor risiko yang dimiliki, sehingga bisa mendapatkan prompt diagnosis dan pengobatan jika saluran empedu tersumbat. Penyumbatan itu sendiri tidak dapat dicegah. (Attasaranya S, Fogel EL,2008)
Dalam hal ini perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua untuk mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan saluran empedu), dengan keadaan fisik yang menunjukan  anak tampak ikterik, feses pucat dan urine berwarna gelap (pekat). (Sarjadi,2000)

 BAB 3 PATHWAY


 
BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
a.    Identitas
Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya. Hal ini dilakukan sebagai standar prosedur yang harus dilakukan untuk mengkaji keadaan pasien. Umumnya Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Atresia bilier dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1.

b.    Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada kulit dan mata bayi yang baru lahir. Jaundice terjadi karena darah bayi mengandung kelebihan bilirubin, pigmen berwarna kuning pada sel darah merah. 

c.    Riwayat Penyakit Sekarang
Anak dengan Atresia Biliaris mengalami Jaundice yang terjadi dalam 2  minggu atau 2 bulan lebih, apabila  anak buang air besar tinja atau feses berwarna pucat. Anak juga mengalami distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus. Anak tidak mau minum dan kadang disertai letargi (kelemahan).

d.   Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah dengan kekebalan tubuh. Selain itu dapat juga terjadi obstruksi empedu ektrahepatik. yang akhirnya menimbulkan masalah dan menjadi factor penyebab terjadinya Atresia Biliaris ini.
Riwayat Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT, Hepatitis, dan Polio.



e.    Riwayat Perinatal
1)   Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah menderita infeksi penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella
2)   Intra natal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi virus atau bakteri selama proses persalinan.
3)   Post natal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal hygiene saat merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan peralatan makan dan peralatan bayi lainnya juga kurang diperhatikan oleh orang tua ibu.

f.     Riwayat Kesehatan Keluarga
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya pada ibu pernah menderita penyakit terkait dengan imunitas HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella. Akibat dari penyakit yang di derita ibu ini, maka tubuh anak dapat menjadi lebih rentan terhadap penyakit atresia biliaris. Selain itu terdapat kemungkinan adanya kelainan kongenital yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.

g.    Pemeriksaan Tingkat Perkembangan
Pemeriksaan tingkat perkembangan terdiri dari adaptasi sosial, motorik kasar, motorik halus, dan bahasa. Tingkat perkembangan pada pasien atresia biliaris dapat dikaji melalui tingkah laku pasien maupun informasi dari keluarga. Selain itu, pada anak dengan atresia biliaris, kebutuhan akan asupan nutrisinya menjadi kurang optimal karena terjadi kelainan pada organ hati dan empedunya sehingga akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya.



h.    Keadaan Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak yaitu pola kebersihan yang cenderung kurang. Orang tua jarang mencuci tangan saat merawat atau menetekkan bayinya. Selain itu, kebersihan botol atau putting ketika menyusui bayi juga kurang diperhatikan.

i.      Pola Fungsi Kesehatan
1)   Pola Aktivitas/Istirahat : Pola aktivitas dan istirahat anak dengan atresia biliaris terjadi gangguan yaitu ditandai dengan anak gelisah dan rewel yang gejalanya berupa letargi atau kelemahan
2)   Pola Sirkulasi : Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris adalah ditandai dengan takikardia, berkeringat yang berlebih, ikterik pada sklera kulit dan membrane mukosa.
3)   Pola Eliminasi : Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu terdapat distensi abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang berwarna gelap dan pekat. Feses berwarna dempul, steatorea. Diare dan konstipasi pada anak dengan atresia biliaris dapat terjadi.
4)   Pola Nutrisi : Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai dengan anoreksia,nafsu makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas dan biasanya disertai regurgitasi berulang.
5)   Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai pengetahuan orang tua terhadap penyakit yang diderita klien
6)   Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau anak terhadap pengobatan dan perawatan yang akan dilakukan.
7)   Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat dan mengobati anak dengan atresia biliaris.
8)   Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau tidak yang berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang menderita atresia biliaris biasanya tidak ada gangguan dalam reproduksi.
9)   Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan semangat sembuh bagi anak.
10)                   Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa agar penyakit pada anaknya dapat sembuh dengan cepat.
                                                                                               
j.      Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
1)      Air kemih bayi berwarna gelap
2)      Tinja berwarna pucat
3)      Kulit berwarna kuning
4)      Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
5)      Hati membesar.
6)      Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a)    Gangguan pertumbuhan
b)   Gatal-gatal
c)    Rewel
d)   Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
7)      Pemeriksaan Fisik
a)      Keadaan umum    : lemah.
TTV          : Tekanan Darah : terjadi peningkatan terutama pada vena porta
Suhu         : Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi         : takikardi
RR            : terjadi peningkatan RR akibat diafragma yang
                                                  tertekan (takipnea)
b)      Kepala dan leher
Inspeksi : Wajah  : simetris 
Rambut                : lurus/keriting, distribusi merata/tidak
Mata                     : pupil miosis, konjungtiva anemis
Hidung                 : kemungkinan terdapat pernafasan cuping Hidung
Telinga                 : bersih
Bibir dan mulut    : mukosa biibir kemungkinan terdapat ikterik
Lidah                   : normal
Palpasi                 : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe pada leher
c)      Dada
Inspeksi               : asimetris, terdapat tarikan otot bantu pernafasan dan tekanan  pada otot diafragma akibat pembesaran hati (hepatomegali).
Palpasi                  : denyutan jantung teraba cepat, terdapat nyeri tekan(-)
Perkusi                 : Jantung          : dullness
Paru                      : sonor
Auskultasi           : tidak terdengar suara ronchi
                                                kemungkinan terdengar bunyi wheezing
d)     Abdomen
Inspeksi                : terdapat distensi abdomen
Palpasi                  : dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi                 : sonor
Auskultasi            : kemungkinan terjadi pada bising usus
e)      Kulit
Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning (jaundice)
f)       Ekstremitas
Tidak terdapat odem pada pada extremitas

k.    Pemeriksaan Penunjang
1)      Laboratorium 
a)    Bilirubin direk dalam serum meninggi (nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl) karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas.
b)   Tidak ada urobilinogen dalam urine.
c)    Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2)      Pemeriksaan diagnostik
a)      USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran empedu)
b)      Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c)      Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik
d)     Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
4.2    Diagnosa Keperawatan
a.    Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
b.    Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
c.    Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier ekstrahepatik
d.   Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
e.    Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
f.     Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
4.3 Perencanaan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 x 24 jam selama proses keperawatan, diharapkan pola nutrisi pasien menjadi adekuat
Kriteria Hasil:
a.       BB pasien stabil
b.      Konjungtiva tidak anemis
1.      Kaji distensi abdomen
2.      Pantau masukan nutrisi dan perhatikan frekuensi muntah klien
3.      Timbang BB setiap hati
4.      Berikan diet yang sedikit namun sering
5.      Atur kebersihan oral sebelum makan
6.      Konsulkan dengan ahli diet sesuai indikasi
7.      Berikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan batasi makanan penghasil gas
8.      Kolaborasikan pemberian makanan yang mengandung MCT sesuai indikasi
9.      Monitor kadar albumin, protein sesuai program
10.  Berikan vitamin-vitamin larut lemak (A, D, E, K)

b.    Diagnosa keperawatan: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan 2 x 24 jam, diharapkan pasien menunjukkan tanda-tanda pola nafas yang efektif
Kriteria Hasil:
a.       RR mencapai 30-40 napas/mnt
b.      Kedalaman inspirasi dan kedalaman bernafas
c.       Tidak ada penggunaan otot bantu nafas pada pasien
1.      Kaji distensi abdomen
2.      Kaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan
3.      Awasi klien agar tidak sampai mengalami leher tertekuk
4.      Posisikan klien semi ekstensi atau eksensi pada saat beristirahat
5.      Kolaborasikan operasi apabila dibutuhkan

c.     Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier ekstrahepatik, ditandai oleh peningkatan suhu tubuh, dan pasien demam
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Tujuan: setelah dilakukan pemeriksaan keperawatan 1 x 24 jam diharapkan suhu tubuh pasien akan kembali menjadi normal
Kriteria Hasil:
a.       Nadi dan pernapasan dalam rentang normal
b.      Suhu normal 36,50 – 37,50
1.      Berikan kompres air biasa pada daerah aksila, kening, leher, dan lipatan paha
2.      Pantau suhu minimal setiap 2 jam sekali disesuaikan dengan kebutuhan
3.      Berikan pasien pakaian tipis
4.      Menipulasi lingkungan menjadi senyaman mungkin seperti penggunaan kipas angin atau AC
5.      Kolaborasikan pemberian obat anti piretik sesuai kebutuhan

d.   Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Tujuan: pasien akan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit setelah dilakukan perawatan didalam rumah sakit selama 2 x 24 jam
Kriteria Hasil:
a.       Kembalinya pengisian kapiler darah kurang dari 3 detik
b.      Turgor kulit membaik
c.       Produksi urin 1-2ml/kgBB/jam

1.      Pantau asupan dan carian pasien perjam (cairan infus, susu per NGT, atau jumlah ASI yang diberikan
2.      Periksa feses pasien tiap harinya
3.      Pantau lingkar perut pasien
4.      Observasi tanda-tanda dehidrasi
5.      Kolaborasikan pemeriksaan elektrolit pasien, kadar protein total, albumin, nitrogen urea darah dan kreatinin serta darah lengkap
                  
e.     Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Tujuan: pola BAB pasien normal setelah perawatan yang dilakukan 2 x 24 jam
Kriteria Hasil:
a.       Tidak ada diare
b.      Elektrolit normal
c.       Asam basa normal
1.    Evaluasi jenis intake makanan
2.    Monitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan ulserasi
3.    Ajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
4.    Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi dan konsistensi feses
5.    Kolaborasi jika tanda dan gejala diare menetap
6.    Monitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7.    Monitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator dehidrasi
8.    Konsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat


f.     Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Tujuan: pasien akan dapat beraktivitas secara normal setelah pemeriksaan yang dilakukan 2 x 24 jam
Kriteria Hasil:
a.    Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR
b.    Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
c.    Keseimbangan aktivitas dan istirahat

1.    Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
2.    Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
3.    Monitor nutrisi  dan sumber energi yang adekuat
4.    Monitor respon kardivaskuler  terhadap aktivitas (takikardi, disritmia, sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
5.    Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
6.    Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan






4.4  Implimentasi Keperawatan
a.     Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
1)   mengkaji adanya distensi pada abdomen pasien
2)   memantau masukan nutrisi dan frekuensi muntah
3)   menimbang berat badan pasien
4)   mengkolaborasikan pemberian diet pada pasien sedikit namun sering
5)   mempertahankan kebersihan oral pasien sebelum makan
6)   mengkonsultasikan dengan ahli diet sesuai indikasi
7)   memberikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan batasi makanan penghasil gas
8)   memberikan makanan mengandung MCT sesuai indikasi
9)   memonitor laboratorium untuk kadar albumin dan protein sesuai program
10)    memberikan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak
b.    Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
1)   mengkaji ada tidaknya distensi abdomen klien
2)   mengkaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan
3)   mengawasi leher klien agar tidak tertekuk atau memosisikan leher klien semi ekstensi saat istirahat
4)   mempersiapkan operasi apabila diperlukan
c.    Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier ekstrahepatik
1)      memberikan kompres air biasa pada aksila, kening, leher, dan lipatan paha
2)      memantau suhu minimal setiap 2 jam sekali sesuai kebutuhan
3)      memberikan pasien pakaian tipis
4)      memanipulasi lingkungan senyaman mungkin bagi pasien dengan penggunaan AC / kipas angin
d.   Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
1)      memantau asupan dan cairan pasien perjam
2)      memeriksa feses pasien setiap hari
3)      memantau lingkar perut bayi
4)      mengobservasi tanda-tanda dehidrasi pada pasien
5)      mengkolaborasikan pemeriksaan elektrolit, kadar protein total termasuk albumin, nitrogen urea, darah dan kreatinin serta darah lengkap
e.    Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
1)   Mengvaluasi jenis intake makanan
2)   Memonitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan ulserasi
3)   Mengajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
4)   Menginstruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi dan konsistensi feses
5)   Berkolaborasi jika tanda dan gejala diare menetap
6)   Memonitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7)   Memonitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator dehidrasi
8)   Berkonsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat
f.     Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
1)   Mengobservasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
2)   Mengkaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
3)   Memonitor nutrisi  dan sumber energi yang adekuat
4)   Memonitor respon kardivaskuler  terhadap aktivitas (takikardi, disritmia, sesak nafas, diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
5)   Memonitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
6)   Membantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan

4.5  Evaluasi
a.    Diagnosa 1: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
S: Orang tua pasien mengatakan jika sang anak tidak mau menghabiskan makanannya
            O: BB menurun, Muntah, dan konjungtiva tampak anemis
            A: Masalah teratasi
            P: Lanjutkan intervensi
b.    Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
S: Orang tua mengeluhkan anaknya sering sesak
O: adanya sesak nafas, RR: 60 x/menit
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
c.    Diagnosa 3: Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier ekstrahepatik
S: Pasien mengatakan tubuhnya panas
O: suhu meningkat, takikardi, dan RR meningkat
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
d.   Diagnosa 4: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
S: Keluarga mengatakan sejak pagi pasien muntah-muntah setelah makan
O: muntah sebanyak ¼ gelas kecil, wajah terlihat pucat dan sianosis
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
e.    Diagnosa 5: Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
S: keluarga mengatakan pasien sudah mulai berkurang BABnya
O: pasien BAB 2 kali dalam sehari, dengan konsentrasi cair
A: masalah teratasi sebangian
P: lanjutkan intervensi
f.     Diagnosa 6: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
S: pasien mengatakan sudah dapat beraktivitas, dan tidak lelah
O: nadi 95 kali / menit, RR: 21 kali / menit
A: masalah teratasi
P: lanjutkan intervensi




















BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006). Penyebab atresia bilier tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat proses inflamasi yang destruktif. Atresia biliar terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan, atau kemungkinan infeksi virus dalam intrauterine.Dalam hal ini pengobatan tidak memberikan efek yang terlalu besar. Satu-satunya terapi yang memberikan harapan kesembuhan bagi atresia biliar adalah pembedahan. Secara historis, berbagai operasi telah disusun, termasuk reseksi hepatik parsial dengan drainase luka permukaan, penusukan hepar dengan tabung hampa, dan pengalihan duktus limfatik torasikus kedalam rongga mulut. Dalam hal pencegahannya perawatdiharapkan dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua untuk mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan saluran empedu), dengan keadaan fisik yang menunjukan  anak tampak ikterik, feses pucat dan urine berwarna gelap (pekat). (Sarjadi,2000)

5.2 Saran
Saran bagi perawat, sebaiknya seorang perawat dapat melaksanakan asuhan keperawatan kepada klien atresia biliaris sesuai dengan indikasi penyakit, dan sebaiknya dengan baik dan benar sesuai standar.






DAFTAR PUSTAKA

Attasaranya S, 2008. Choledocholithiasis, ascending cholangitis, and gallstone pancreatitis.http://health.nytimes.com/health/guides/disease/cholangitis/overview.html.  (diakses pada tanggal 11 maret 2015 pukul 16.22)
Craft-Rosernberg, Martha & Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan. Yogyakarta: Digna Pustaka
Parlin.1991.Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI.
Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M.2006. Patofisiologi, Konsep Klinis, Proses-proses Penyakit, Volume 1, edisi 6.J akarta: EGC
Sarjadi, 2000. Patologi umum dan sistematik. Jakarta. EGC
Sloane, Ethel.2004.  Anatomi dan Fisiologi untk Pemula. Jakarta:EGC
Smeltzer, Suzanne C., dan Bare, Brenda G.. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 2. Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith M.2007. Buku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar