BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Ikterus
adalah suatu kondisi dimana warna kulit dan sclera akan berwarna kuning, hal
ini terjadi ketika ada kadar bilirubin yang berlebihan yang dihasilkan oleh
hati ketika mengeluarkan bilirubin tersebut dari dalam darah atau ketika
terjadi kerusakan hati yang mencegah pembuangan bilirubin dari dalam darah.
Ikterus secara fisiologis merupakan fenomena biologis yang timbul akibat
tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa
transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali
lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah
eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek
Banyak
bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir kurang dari
2500 gram atau usia gestasi kurang 37 minggu) mengalami ikterus pada
minggu pertama kehidupannya. Sewaktu bayi masih berada dalam rahim
(janin),maka tugas membuang bilirubin dari darah janin dilakukan oleh plasenta.
Hati atau liver janin tidak perlu membuang bilirubin. Ketika bayi sudah lahir,
maka tugas ini langsung diambil alih oleh hati atau liver. Karena liver belum
terbiasa melakukannya, maka ia memerlukan beberapa minggu
untuk penyesuaian. Selama liver bayi bekerja keras untuk menghilangkan
bilirubin dari darahnya, tentu saja jumlah bilirubin yang tersisa akan terus
menumpuk di tubuhnya. Karena bilirubin berwarna kuning, maka jika
jumlahnya sangat banyak, dapat menodai kulit dan jaringan-jaringan tubuh
bayi. Bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis
dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum,
kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar
tidak memiliki penyebab dasar atau disebutiikterus fisiologis yang akan
menghilang pada akhir minggu pertamakehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian
kecil memiliki penyebab sepertihemolisis, septikemi, penyakit metabolik
(ikterus non-fisiologis).
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1 Apa
definisi dari penyakitikterus?
1.2.2 Bagaimana
epidemiologi penyakit ikterus?
1.2.4 Bagaimana etiologi penyakitikterus?
1.2.5 Apa
saja yang menjadi gejala gejala ikterus?
1.2.7 Bagaimana patofisiologipenyakit ikterus?
1.2.8
Apa prognosis dari penyakit penyakit ikterus?
1.2.9
Bagimana
penatalaksanaan dari penyakit
ikterus?
1.2.10 Bagaimana pencegahan
dari penyakit ikterus?
1.2.11 Bagaimana
asuhan keperawatan pada anak dengan ikterus?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 untuk mengetahui definisi dari penyakit ikterus;
1.3.2 untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit ikterus;
1.3.4 untuk mengetahui etiologi dari penyakit ikterus;
1.3.5 untuk mengetahui gejala dari penyakit ikterus;
1.3.7
untuk mengetahui bagaimana
patofisiologi penyakit ikterus;
1.3.8 untuk
mengetahui prognosis dari penyakit penyakit
ikterus;
1.3.9
untuk mengetahui cara atau
penatalaksanaan dari penyakit ikterus;
1.3.10 untuk
mengetahui pencegahan yang dapat dilakukan pada penyakit ikterus;
1.3.11 untuk mengetahui asuhan keperawatan
pada anak dengan ikterus.
BAB 2 TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Penimbunan pigmen empedu dalam tubuh mengubah warna jaringan menjadi
kuning karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu
bilirubin disebut sebagai ikterus. Ikterus biasanya dapat dideteksi pada
sklera, kulit atau urine yang menjadi gelap bila bilirubin serum mencapai 2
sampai 3 mg/dl, namun secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum lebih dari 5mg/dl.
Bilirubin serum normal adalah 0,3 sampa 1,0 mg/dl. Jaringan permukaan
yang kaya elastin, seperti sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya menjadi
kuning pertama kali.
Menurut Mansjoer (2002), ikterus
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu.
ikterus fisiologis dan patologis.
1.
Ikterus
fisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
Timbul
pada hari kedua-ketiga.
b.
Kadar
bilirubin indirek (larut dalam lemak) tidak melewati 12 mg/dL pada neonatus
cukup bulan dan 10mg/dl pada kurang bulan.
c.
Kecepatan
peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg/dl per hari.
d.
Kadar
bilirubin direk (larut dalam air) kurang dari 1mg/dl.
e.
Gejala
ikterus akan hilang pada sepuluh hari pertama kehidupan.
f.
Tidak
terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
2.
Ikterus
patologis memiliki karakteristik seperti berikut:
a.
Ikterus
yang terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
b.
Ikterus
dengan kadar bilirubin melebihi 12mg/dl pada neonatus cukup bulan dan 10mg/dl
pada neonates lahir kurang bulan/premature.
c.
Ikterus
dengan peningkatan bilirubun lebih dari 5mg/dl per hari.
d.
Ikterus
yang menetap sesudah 2 minggu pertama.
e.
Ikterus
yang mempunyai hubungan dengan proses hemolitik, infeksi atau keadaan patologis
lain yang telah diketahui.
f.
Kadar
bilirubin direk melebihi 1mg/dl.
2.2
Epidemiologi
Prevalensi
dari ikterus adalah beragam sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Bayi baru
lahri dan dewasa tua adalah yang paling sering terkena. Penyebab dari ikterus
juga bervariasi menurut usia. Sekitar 20% bayi baru lahir megalami ikterus pada
minggu pertaman kehidupan, terutama diakibatkan oleh proses konjugasi di hepar.
Kelainan kongenital, kelainan hemolitik dan dekek konjugasi juga bertanggung
jawab sebagai penyebab ikterus pada bayi dan anak-anak Virus hepatitis A adalah
penyebab tersering ikterus pada anak usia sekolah.
Ikterus
pada jenis kelamin laki-laki biasanya disebabkan oleh sirosis, hepatitis b
kronis, hepatoma, karsinoma pankeas, dan kolangitis. Sedangkan pada wanita
penyeb terseringnya yaitu batu empedu, sirosis bilier da karsinoma kandung empedu.
Di
Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65%
mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998
menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di
Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit
pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum
Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan
prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin
di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu
pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan
sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar
bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan
pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan
hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada
bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95%
dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari
1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.Data
yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens
ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus
fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait
hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada
bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.Insidens ikterus
neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13%
pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh
cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai
berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito
menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr.
Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.
2.3
Etiologi
Penyebab ikterus dapat dibagi menjadi
tiga yaitu:
1.
Ikterus
Prahepatik
Produksi
bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah.
Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh:
a.
Kelainan
sel darah merah
b.
Infeksi
seperti malaria, sepsis.
c.
Toksin
yang berasal dari luar tubuh seperti: obat-obatan, maupun yang berasal dari
dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfuse dan eritroblastosis
fetalis.
2.
Ikterus Pascahepatik
Bendungan pada
saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin konjugasi yang larut dalam
air. Akibatnya bilirubin mengalami akan mengalami regurgitasi kembali kedalam
sel hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan
oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada
bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan berkurang sehingga
tinja akan berwarna dempul karena tidak mengandung sterkobilin.
3.
Ikterus Hepatoseluler
Kerusakan sel hati
menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk akan
meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah
akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan
peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam aliran darah. Kerusakan sel hati
terjadi pada keadaan: hepatitis, sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.
2.4
Tanda dan gejala
Menurut Surasmi (2003) gejala
Hiperbilirubinemia dikelompokan menjadi 2 fase yaitu akut dan kronik:
1. Gejala akut
a.
Lethargi
(lemas)
b.
Tidak
ingin mengisap
c.
Feses
berwarna seperti dempul
d.
Urin
berwarna gelap
2.
Gejala
kronik
a.
Tangisan
yang melengking (high pitch cry)
b.
Kejang
c.
Perut
membuncit dan pembesaran hati
d.
Dapat
tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
e.
Tampak
matanya seperti berputar-putar
2.5
Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin
plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat
terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia,
asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu
bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas
terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air
tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis
pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan
yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa
kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg/dl. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah
otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah , hipoksia, dan
hipoglikemia.
2.6
Komplikasi & prognosis
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern
icterus. Kern icterus atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom
neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi
(bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nuclei
batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan
melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin,
kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan
suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan
perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern
icterus (Richard E. et al, 2003).
Pada bayi sehat yang menyusu kern
icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL dengan rentang antara
21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda
hingga umur 2-3 minggu.
Gambaran klinis kern icterus antara
lain:
1.
Bentuk akut :
a.
Fase
1(hari 1-2): menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang.
b.
Fase
2 (pertengahan minggu I): hipertoni otot ekstensor, opistotonus, retrocollis,
demam.
c.
Fase
3 (setelah minggu I): hipertoni.
2. Bentuk kronis :
a. Tahun
pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic
neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat.
b. Setelah
tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus,
tremor), gangguan pendengaran
2.7
Pengobatan
Metode terapi
hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse pangganti, infuse albumin
dan therapi obat.
a. Fototherapi
Fototerapi
dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse pengganti untuk
menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang
tinggi ( a bound of fluorescent light bulbs or bulbs in the blue light
spectrum) akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi menurunkan kadar
bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal
ini terjadi jika cahaya yang diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak
terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin
bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam
darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati.
Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum
untuk di buang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh hati. Hasil
fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan
melalui urine.
Fototerapi
mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin, tetapi tidak
dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia.
Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl.
Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi
dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk
memberikan fototerapi profilaksasi pada 24 jam pertama pada bayi resiko tinggi
dan berat badan lahir rendah.
b. Transfusi Pengganti
Transfusi
pengganti digunakan untuk mengatasi anemia sel darah merah yang tidak
susceptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap antibody maternal,
menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan),
menghilangkan serum bilirubin, dan meningkatkan albumin bebas bilirubin dan
meningkatkan keterikatan dangan bilirubin
Pada
Rh Inkomptabilitas diperlukan transfuse darah golongan O segera (kurang dari 2
hari), Rh negative whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A
dan antigen B. setiap 4 -8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus
diperiksa setiap hari sampai stabil.
c. Terapi Obat
Phenobarbital
dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi
bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu
hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan
Phenobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya
(letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat
urine sehingga menurunkan siklus enterohepatika.
2.8
Pencegahan
Pencegahan ikterus pada bayi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1.
Pencegahan
Primer
a.
Menganjurkan
ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk beberapa hari
pertama.
b.
Tidak
memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
2. Pencegahan Sekunder
a. Wanita
hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan serum
untuk antibody isoimun yang tidak biasa.
b. Memastikan
bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus dan
menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat
memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.
BAB 3. PATHWAY
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1
Pengkajian
4.1.1
Identitas Klien
Identitas
klien meliputi:
a. Nama
b. Umur
Ikterus merupakan
gejala yang sering ditemukan pada bayi baru lahir. Kejadian ikterus pada bayi
baru lahir menurut beberapa penulis berkisar antara 50% pada bayi cukup bulan
dan 75% pada bayi kurang bulan ( Prawirohardjo, 1999:752).
c. Jenis kelamin
4.1.2
Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering
menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan biasanya berhubungan
dengan sklera dan warna kulit
berwarna kuning, warna urin
yang gelap, kulit dapat berwarna kehijauan, untuk klien dengan kernikterus
dapat berupa mata berputar, letargi, kejang tak mau mengisap, malas minum,
tonus otot meningkat, leher kaku, dan optistotonus.
4.1.3
Riwayat Penyakit
1.
Riwayat Penyakit Sekarang
Anamnesis yang dibuat juga lamanya gejala
berlangsung, ada dan sifat nyeri abdomen, demam atau gejala peradangan lainnya,
perubahan selera makan, berat badan, dan kebiasaan buang air besar. Perhatikan
juga adanya riwayat transfusi darah, dan penggunaan obat-obat intravena. (Hill,
1999:268)
2.
Riwayat Penyakit Dahulu
a. Penyakit
virus juga harus diperhatikan pada pasien yang pernah bepergian ke negara-negara
berkembang endemik hepatitis E yang ditularkan secara enteral atau negara asia
timur yang penyebaran hepatitis B dan C secara parenteralnya luas.
b. Prurius
seringkali dikaitkan dengan kolestasis kronik berasal baik dari obstruksi
ekstrahepatik ataupun penyakit kolestatik hati seperti kolangitis sklerosing
atau sirosis kandung empedu primer.
c. Sebaliknya,
tinja yang akolik lebih sering terjadi pada pasien obstruksi kandung empedu
ekstrahepatik akibat tumor, koledokolitiasis, atau secara sekunder akibat
kelainan kandung empedu kongenital seperti peradangan kista koledukus. Adanya
tinja akolik dan heme-positif (tinja perak) merujuk ke arah tumor traktus
biliaris distal seperti ampula, periampula, atau kolangiokarsinoma. Gabungan
ini juga terdapat pada pasien karsinoma pankreas yang menyebar ke traktus
biliaris atau duodenum.
d. Ikterus,
dalam kaitannya dengan operasi kandung empedu di masa lalu, mengarahkan pada
penyakit batu yang kambuh atau masih tersisa, striktur biliaris, atau obstruksi
berulang akibat tumor yang membesar. Akhirnya keadaan yang telah ada sebelumnya
atau yang mendasari terjadinya penyakit hepatobiliar harus dihilangkan.
Misalnya, penyakit radang usus, terutama kolitis ulseratif, berkaitan dengan
kolagitis sklerotikans.
e. Kehamilan
merupakan faktor predisposisi kolestasis, steatosis, dan gagal hati akut.
f. Gagal
jantung kanan dapat mengakibatkan kongesti hepatik dan kolestasis, sepsis dapat
menyebabkan gangguan transport bilirubin tertentu atau kolestasis intrahepatik
luas. (Hill, 1999:268)
3.
Riwayat
Penyakit Keluarga
Terdapat riwayat gangguan hemolisis darah
(ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah ABO), polisitemia, infeksi,
hematoma, gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan, ibu
menderita DM. (Hill, 1999:268)
4. Riwayat
Pengobatan
Riwayat
pengobatan juga harus dicermati, obat-obat tertentu yang dapat menyebabkan baik
kolestasis, seperti anabolik steroid dan klorpromazin, maupun nekrosis sel
hati, seperti asetaminofen atau isoniazid. riwayat atralgia merujuk pada
hepatitis virus akut.(Hill, 1999:268)
4.1.4 Riwayat Perinatal
1. Antenatal:
pada bayi/anak pennderita ikhteus, biasanya ibu sang anak pernah menderita hemoglobin
abnormal (cickle sel anemia hemoglobin), kelainan eritrosit (sferositosis
heriditer), antibodi serum (Rh) ibu yang tidak sama dengan Rh janin, ibu dengan
riwayat penyakit hepatitis, pengaruh obat-obatan, alcohol yang dapat merusak
fungsi hepar.
2. Intranatal:
ikhterus yang disertai dengan asfiksia, hipoksia (kekurangan oksigen)yang dapat
menghambat konjugasi bilirubin, sindrom gangguan pernafasan, trauma lahir pada
kepala, infeksi, ketuban pecah dini, kesukaran kelahiran.
3. Post
natal: pada neonates ikhterus normalnya timbul pada hari kedua lalu menghilang
pada hari kesepuluh atau akhir minggu ke dua ,sering terjadi pada bayi dengan
berat badan lahir rendah. Atau bila kadar bilirubin
serum meningkat lebih dari 5 mg % perhari, kadarnya diatas 10 mg % pada
bayi matur dan 15 mg% pada bayi premature hal tersebut dikatagorikan
ikhterus patologis. Pada anak-anak ikhterus muncul sebagai tanda adanya
kelainan pada hepar ataupun kantong empedu serta indikasi mengalami penyakit
hepatitis.
4.1.5
Pemeriksaan Tingkat Perkembangan
a.
Keadaan Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
Pada anak dengan ikhterus factor lingkungan yang kumuh sebagai tempat
tumbuhnya penyakit memungkinkan anak terserang penyakit hepatitis. Kurangnya
menjaga pola keberhihan juga dapat berpengaruh misalnya orang tua tidak
membersihkan botol minum anak dengan benar.
b.
Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola
persepsi dan tata laksana kesehatan: pada anak penderita ikherus pola hidup sehatharus ditingkatkan dalam menjaga
kebersihan diri, perawatan, gaya hidup sehat. Ibu juga berkewajiba rutin
memeriksakan anaknya dan melakukan imunisasi secara teratur.
2. Pola
nutrisi dan metabolisme: pada anak penderita ikherus terjadi gangguan dalam
pemenuhan nutrisi, ana menjadi malas makan, maalas menyusu sehingga mampu
menyebabkan gangguan pola nutrisi dan metabolisme sehinga sering terlihat lemah
(malaise).
3. Pola
eliminasi: anak dengan ikhterus akan
mengalami gangguan dalam eliminasi. Diar biasanya juga dialami penderita
ikherus, feces menjadi lunak dan sedikit pucat, sedangkan urin penderiat
ikhterus akan berwarna coklat gelap atau coklat kehitaman.
4. Pola
aktivitas/bermain: anak biasanya menjadi malas beraktivitas, lemah dan lebih
sering rewel.
5. Pola
istirahat dan tidur: anak atau bayi yang mengalami ikhterus akan mengalami
gangguan saat tidur biasanya berpa gatal akibat hiperbilirubin dan menjadi rewel.
6. Pola
kognitif dan persepsi sensori: pada ikhterus parah yang berakibat pada kondisi
krenikretus dapat merusak sawar otak sehingga bisa menyebabkan kerusakan otak
yang berakibat keterlambatan dalam proses berpikir, gangguan bicara atau
keterlambatan lain dalam tumbuh kembangnya.
7. Pola
konsep diri: kasus ikhterus pada bayi tidak berdampak pada konsep diri bayi
namun berdampak pada orang tua, sedangkan ikhterus pada anak-anak dapat
menyebabkan anak menjadi minder dan merasa berbeda dengan teman lainnya.
8. Pola
hubungan-peran: peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat dan mengobati
anak dengan ikhterus
9. Pola
seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau tidak yang
berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang menderita ikhterus biasanya
tidak ada gangguan dalam reproduksi
10. Pola
mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan semangat sembuh bagi anak.
11.
Pola nilai dan
kepercayaan: orang tua selalu
optimis dan berdoa agar penyakit pada
anaknya dapat segara sembuh.
c. Pemeriksaan
Fisik
Pemeriksaan
fisik juga penting untuk mengarahkan evaluasi selanjutnya. Ekskoriasi
menunjukkan adanya kolestasis lama atau obstruksi bilier berat, dan ikterik
yang berwarna kehijauan mengarahkan pada penyakit hati tertentu yang berat atau
kronik, seperti sirosis biliaris, kolangitis sklerotikans, hepatitis kronik
berat, atau obstrusi akibat keganasan yang lama. Demam dan nyeri di epigastrium
atau kuadran atas kanan seringkali berkaitan dengan koledokolitiasis dan
kolangitis atau kolesistitis. Sebaliknya, obstrusi biliaris akibat keganasan
menampakkan ikterik yang tidak sakit.
Hati
yang membesar dan lunak mengarahkan pada peradangan hati akut atau tumor hati
yang cepat membesar, sedangkan kandung empedu yang teraba merujuk pada
obstruksi biliaris akibat tumor ganas. Adanya splenomegali dapat merupakan
petunjuk adanya hipertensi portal, dari hepatitis kronik aktif, alkoholik berat
atau hepatitis virus akut, atau sirosis. Sirosis juga berkaitan dengan keadaan
hiperestrogen yang memberikan gejala ginekomestia, atrofi testis, atau angioma
laba-laba.
Atrofi
testis dapat nyata pada sirosis akibat penyakit hati alcohol atau
hemokromatosis. Eritema Palmaris, telangiektasia wajah, dan kontraktur
Dupuytren juga dihubungkan dengan sirosis, terutama akibat mengkonsumsi alkohol
secara kronik. Pengurusan atau limfadenopati merujuk pada keganasan, bila ada
splenomegali, tanda-tanda ini mengarah pada tumor pankreas yang menyumbat
pembuluh darah spenikus atau limfoma yang bermetastasis. Pada pasien dengan
riwayat yang mengarah pada adanya keganasan, perhatikan terutama pada temuan
yang menyokong tumor primer, yaitu tinja heme-positif, massa pada payudara atau
abdomen, benjolan tiroid, dan limfadenopati supraklavikuler. Temuan fisis yang
berkaitan dengan penyakit hati spesifik adalah pelebaran pembuluh darah leher
dan refluks hepatojuguler (gagal jantung kanan), xantoma (sirosis biliaris
primer), dan cincin Kayser-Fleischer (penyakit Wilson). (Hill, 1999:268)
d.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
laboratorium awal harus ditujukan pada pembagian bilirubin serum. Bila terjadi
hiperbilirubinemia yang didominasi oleh bilirubin tak konjugasi (indirek), maka
pikirkanlah gangguan hemolisis, seperti autoimun atau anemia hemolitik
mikroangiopati, kegagalan sumsum tulang, atau resorpsi hematom yang besar.
Penyebab paling sering peningkatan bilirubin tak terkonjugasi adalah sindroma
Gilbert, suatu keadaan yang diwariskan akibat defisiensi ringan glukuronil
transferase hepar. Penderita sindroma Gilbert mengalami berbagai peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi di dalam sirkulasi, terutama dalam hubungannya
dengan stress fisis, demam, infeksi atau bedah yang sedang berlangsung, puasa,
atau peminum alkohol berat. Kelainan metabolisme ringan ini tidak mengeluarkan
gejala selain ikterik, dan tidak berkaitan dengan kelainan enzim hati atau
pengaruh jangka panjang lainnya.
Hiperbilirubinemia terkonjugasi (direk) biasanya
berasal dari gangguan sel hepar atau penyakit kolestatik hati, atau obstruksi
bilier ekstrahepatik. Karena kerja glukuronil transferase hati kebanyakan
normal, pembentukan bilirubin glukuronida yang adekuat dapat terjadi bersamaan
dengan penyakit hati berat. Pada pasien hiperbilirubinemia terkonjugasi primer,
adanya dan sifat enzim hati abnormal merupakan petunjuk penting mengenai sifat
proses yng sedang berlangsung. Hiperbilirubinemia terkonjugasi tanpa kelainan
enzim hati jarang terjadi, tetapi dapat dijumpai pada kehamilan, sepsis, atau
setelah operasi. Naiknya bilirubin terkonjugasi saja merupakan menisfestasi
utama dua kelainan yang diturunkan, yaitu sindroma Rotor dan Dubin-Johnson, dan
dapat juga dijumpai pada pasien kolestasis intrahepatik benigna yang kambuh.
Peningkatan aminotransferase yang tidak sebanding dengan enzim hati lainnya,
merujuk pada kerusakan sel-sel hati, terutama hepatitis toksik, virus, atau
iskemi, sedangkan peningkatan alkalin fosfatase, nukleotidase dan gama-glutamil
transpeptidase lebih mengarah pada kolestasis intrahepatik atau obstruksi
ekstrahepatik. Walaupun pola ini tidak dapat dipakai sebagai patokan
diagnostik, hal-hal tersebut penting sebagai petunjuk pemeriksaan.
Pasien yang pemeriksaan klinis dan anamnesisnya
mengarah pada penyakit sel hepar harus menjalani pemeriksaan hepatitis virus,
keracunan obat, kongesti hepar, dengan gejala seperti gagal ventrikel kiri atau
obstrusi akut vena hepatika, atau hepatitis iskemia. Pada keadaan klinis,
pemeriksaan serologis amat penting dalam menegakkan diagnosis, atau
menyingkirkan diagnosis hepatitis A, hepatitis B akut dan kronik, hepatitis C
dan D. Penyebab umum hepatitis toksik adalah asetaminofen, isoniazid, dan obat
anastesi halogen. Pasien penyakit hati alkohol terutama rentan terhadap
keracunan asetaminofen, yang mungkin timbul dalam dosis terapeutik pada orang
tertentu. Pasien yang sel hatinya dicurigai rusak, biopsi hati dapat memberikan
keterangan diagnostik dan prognostik yang penting. Hasil biopsy perkutan,
transjugular, atau laparoskopi juga memberikan informasi penting bagi terapi
yang optimal. Peranan pencitraan hepatobilier pada pasien ini tidak jelas. Pada
beberaa kasus, identifikasi lesi fokal menggunakan tomografi terkomputasi (CT
scan), ultrasonografi (US), atau pencitraan magnetic (MRI) dapat meningkatkan
ketepatan diagnostic. Teknik pencitraan ini juga dapat membantu menegakkan
diagnosis adanya deposisi lemak hati, sirosis, atau penumpukan besi hepar yang
berlebihan pada hemokromatosis. Ultrasonografi merupakan cara yang sangat
sensitive untuk mendeteksi adanya asites. Bersama dengan analisis Doppler, cara
ini mengungkapkan keutuhan dan arah aliran vena porta dan vena hepatika,
kadang-kadang dapat berfungsi sebagai alat diagnostik noninvasif untuk
thrombosis vena porta dan sindroma Budd-Chiari. (Hill, 1999:268-269)
e.
Terapi
Terapi yang diberika pada bayi dengan ikhterus antara lain:
1.
Fototerapi, diberikan
pada bayi dengan indikasi ikherus patologis
2.
Transfusi tukarjika ada tanda-tanda kernikterus ataupun terjadi
kenaikan bilirubn atau pada saat evaluasi tidak terjadi perbaikan.
3.
Fisioterapi, untuk bayi yang sudah mengalami cacat akibat kadar
bilirubin terlalu tinggi, pengobatan diarahkan pada fisioterapi untuk
memperbaiki kekakuan otot dan gerakan serta stimulasi untuk mengoptimalkan
fungsi intelek (kognitif)
4. Terapi Obat-obatan.
Misalnya, obat phenobarbital atau luminal untuk meningkatkan pengikatan
bilirubin di sel-sel hati
5.
Menyusui Bayi dengan ASI.
6.
Terapi Sinar Matahari
f.
Analisa Data
No
|
Analisa Data
|
Etiologi
|
Masalah Keperawatan
|
1
|
Do: anak
terlihat lemas, turgor kulit kurang baik, bibir kering dan terlihat pucat
Ds:ibu
pasien mengatakan sering buang air besar, pasien malas makan, mual
|
Diare, intake tidak adekuat
|
Kekurangan
volume cairan
|
2
|
Do: anak terlihat malas makan, sering mual muntah
Ds: ibu pasien mengtakan anak tidak nafsu makan, anak sering merasa
mual,muntah
|
mual,muntah, penurunan nafsu makan,
reflek hisap menurun
|
Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh
|
3.
|
Do: beberapa bagian tubuh pasien terlihat ikhterus (kekuningan),
teradapat lesi akibat garukan
Ds: pasien mengatakan tubuhnya gatal-gatal
|
hiperbilirubin
|
Resiko
kerusakan integritas kulit
|
4
|
Do: kulit pasien teraba panas, sedikit muncul kemerahan
Ds: ibu pasien mengatakan cemas karena suhu kulit anaknya teraba panas
|
efek fototerapi
|
Resiko
trauma
|
5
|
Do:keluarga pasien terlihat
cemas, bingung,
Ds: oramng tua pasien mengatakan merasa cemaas terhadap kondisi anaknya
|
gejala
yang semakin berat, terapi
|
Anisetas
|
6
|
Do: orang tua pasien terlihat cemas, canggung, terlihat kebingungan
dalam merawat anak
Ds: orang tua pasien mengatakan merasa cemas dalam merawat anaknya
|
pemisahan
|
Gangguan
parenting
|
7
|
Do: pasien mengalami hipertermia, leukosit mengalami kenaikan datas
normal
Ds: orang tua pasien mengatakan
anaknya mengalami demam
|
defisiensi
immunologi
|
Resiko
infeksi
|
8
|
Do: frekuensi napas pasien tidak normal, telihat otot bantu pernapasan,
napas cepat dan dangkal
Ds: ibu pasien mengatakan anaknya terlihat susah bernapas
|
peningkatan bilirubin
|
Resiko
gangguan pertukaran gas
|
9.
|
Do: keluarga pasien terlihat cemas, bingung
Ds: keluarga pasien mengatakan tidak tahu penyakit yang dialami anaknya
dan cara perawatannya
|
kurangnya
informasi
|
Kurang
pengetahuan
|
4.2 Diagnosa
1. Kekuranagn volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, diare
2. Nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, hilang nafsu
makan,
3. Resiko
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi
4. Resiko
trauma berhubungan dengan efek fototerapi
5. Anisetas
berhubungan dengan kebutuhan yang tidak terpenuhi
6. Gangguan
pelekatan berhubhungan dengan perpisahan
7. Resiko
infeksi berhubungan dengan penekanan sistem imun
8. Resiko
gangguan pertukaran gas berhubungan dengan warna kulit tidak normal
9. Kurang
pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi
4.3
Perencanaan
No
|
Diagnosa Keperawatan
|
Tujuan/ kriteria hasil
|
Perencanaan/ Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kekuranagn volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, diare
|
Setelah
dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 2 x 24 jam, cairan tubuh anak
adekuat dengan kriteria hasil:
1. Keseimbangan
air dalam kompartemen intrasel dan ekstrasel tubuh (keseimbangan cairan)
2. Keseimbangan
elektrolit dan non elektrolit dalam kompartemen intrasel dan ekstrasel.
3. Jumlah
air dalam kompartemen intrasel dan ekstrasel yang adekuat.
|
1. Pantau
warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
2. Observasi
khususnya terhadap pemberian cairan yang tinggi elektolit (diare)
3. Identifikasi
faktor-faktor yang berkontribusi terhadap buruknya dehidrasi
4. Pantau
status hidrasi (kelembabam membran mukosa, kekuatan nadi, tekanan darah
osmotik)
5. Tentukan
jumlah cairan yang masuk selama 24 jam
|
1. Mengetahui
indikasi perubahan dalam keseimbangan cairan anak
2. Mengetahui
kebutuhan cairan sehingga tubuh akan terpenuhi untuk menjamin keadekuatan
3. Pemantauan
dapat memungkinkan evaluasi keseimbangan cairan dan kebutuhan intervensi
lebih lanjut
4. Mengetahui
status perkembangan pasien
5. Mengetahui
kebutuhan cairan tubuh
|
2
|
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual, muntah, hilang nafsu makan,
|
Setelah
dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 2 x 24 jam, asupan kalori dan status gizi
bayi mengalami peningkatan dengan kriteria hasil :
1. Keinginan
untuk makan ketika menjalani pengobatan.
2. Keadekuatan
pola asupan zat gizi.
3. Tingkat
kesesuaian berat badan, otot, lemak dengan tinggi badan, rangka tubuh, jenis
kelamin, dan usia
|
1.
Anjurkan ibu untuk memberikan ASI atau formula
dengan perlahan selama 10 menit dengan perlahan
2.
Identifikasi faktor pencetus mual
dan muntah
3.
Ajarkan keluarga tentang makanan bergizi yang dan
tidak mahal
4.
Beri makan sesering mungkin sesuai indikasi
berdasarkan berat badan dan perkiraan kapasitas lambung
|
1.
Pemasukan makanan ke dalam lambung yang terlalu
cepat dapat menyebabkan respon balik dengan regurgitasi peningkatan resiko
aspirasi dan distensi abdomen
2.
Mengetahui sumber dari masalah
3.
Memberikan solusi kepada keluarga untuk memenuhi
kebutuhan gizi anak.
4.
Bayi kurang dari 1250 gr (2 bl 12 OZ) diberi makan
setiap jam, bayi antara 1500 dan 1800 (3 bulan OZ sampai 4 bl) diberi makan
setiap 3 jam
|
3.
|
Resiko kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan perubahan pigmentasi
|
Setelah
dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, integritas kulit
dapat dipertahankan dengan kriteria hasil:
1. Memiliki
warna kulit normal
2. Memiliki
suhu tubuh normal
3. Tidak
mengalami nyeri ekstermitas
4. Mengkonsumsi
makanan secara adekuat untuk
meningkatkan intergritas kulit.
|
1.
Pantau warna kulit dan suhu ssetiap
8 jam
2.
Bersihkan kulit saat terkena
kotoran
3.
Minimalkan pajanan kulit terhadap
kelembaban.
|
1. Perubahan
warna kulit dapat menunjukkan adanya peningkatan kadar bilirubin dalam darah
dan juga tanda-tanda infeksi kulit
2. Kebersihan
perlu dijaga untuk meghindari terjadinya infeksi pada anak
3. Kelembaban
kulit yang berleihan dapan menyebabakan kerusakan pada kulit
|
4.
|
Resiko trauma berhubungan denganefek fototerapi
|
Setelah dilakukan
tindakan asuhan keperawatan selama 2 x 24 jam Bayi akan berkembang tanpa
disertai tanda-tanda gangguan akibat dari fototerapi dengan kriteria hasil:
1.
Ketebalan dtruktur
dan fungsi fisiologis normal kulit dan membran mukosa.
|
1.
Identifikasi kebutuhan keamanan pasien berdasarkan tingkat fungsi fisik, dan
kognitif
2. Tempatkan
neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya
3. Biarkan
neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata, daerah pantat, dan alat
genetalia ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya
4. Matikan
lampu, buka tutup mata tiap 8 jam.
5. Lakukan
pemeriksaan terapi secara teratur
6. Buka
penutup mata setiap akan diberi susu
7. Ajak
bicara, interaksi orang tua, beri sentuhan pada bayi selama perawatan
|
1.
Mengetahui kebutuhan pasien termasuk kebutuhan
kemanan
2.
Jarak yang terlalu dekat mengakibatkan bayi beresiko mengalami
kerusakan mata
3.
Mata, pantat
dan area genetalia ditutupi agar tidak merusak jaringan atau bagian tubuh
tersebut
4.
Untuk mengetahui keadaan sklera
5.
mengetahui adanya perkembangan ataupun mengecek hal yang mungkin tidak
diinginkan
6.
Bayi terstimulasi sejak dini saat diberikan susu agar menyadari adanya
kehadiran seseorang
7.
Adanya interaksi orang tua turut mempercepat pemulihan bayi
1.
|
5.
|
Anisetas berhubungan dengan kebutuhan
yang tidak terpenuhi
|
Seteklah dilakukan
tindakan keperawatan 1x 24jam Orang tua mengerti
tentang perawatan dapat mengidentifikasi gejala-gejala untuk menyampaikannya
pada tim kesehatan; memberikan respon yang kooperatif; keluarga tampak tenang.
|
1.
Evaluasi tingkat ansietas, catat
nonverbal dan verbal
2.
Dorong keluarga mengungkapkan
perasaanya
3.
Identifikasi persepsi pasien/
keluarga tentang situasi
4.
Evaluasi mekanisme koping yang
digunakan
5.
Berikan informasi penyakit dan
antisipasi tindakan
6.
Berikan pendidikan
tentang pentingnya perawatan dan pengobatan, penjelasan tentang pelayanan
kesehatan yang harus dihubungi, beri pendidikan keshatan tentang perawatan
bayi dirumah.
7.
Berikan reinforcement positif dan
motivasi pada keluarga
|
1. Mengetahui sejauh mana kecemasan
yang dialami
2. Mengetahui kecemasan apa yang
dirasakan keluarga
3. Mengetahui persepsi apa yang
dirasakan pasien atau keluarga saat ini
4. Mengetahui sejauh mana usaha
koping keluarga dalam menangani kondidi tersebut
5. Mengetahui penyakit dan tindakan
yang dilakukan dalam penanganan penyakit tersebut
6. Mengetahui hal-hal yang
berhubungan denga penyakit agar keluarga dapat mandiri dan tidak panik atau
takut bila mendapati kondisi tersebut
7. Keluarga merasa lega dan bersemangat dalam
mendampingi kesembuhan anak
|
6.
|
Gangguan pelekatan berhubhungan dengan
perpisahan
|
Setelah
dilakukan intervensi keperawatan selama 1x 24jam Orang tua mengerti tentang tujuan terapi, cara perawatan, dapat mengungkapkan perasaannya sebagai orangtua
|
1.
Identifikasi kesiapan
orang tua untuk belajar mengenai perawatan bayi.
2.
Kaji kemampuan orang
tua untuk mengenali kebutuhan fisiologis bayi
3.
Kaji faktor yang
dapat menyebabkan munculnya masalah perlekatan
4.
Bantu orang tua untuk
bepartisipasi dalam perawatan bayi
5.
Dorong orangtua untuk
untuk menyentuh dan berbicara dengan bayi baru lahir.
|
1. Mengetahui
sejauh mana kesiapan orang tua mengenai perawatan bayi
2. Mengenali
kebutuhan bay
3. Mengetahui
munculnya masalah.
4. Mengarahkan
kepada orang tua bagaimana melakukan perawatan bayi
5. Membantu
orang tua untuk merangsang kemampuan bayi, seperti mengenali suara
|
7.
|
Resiko infeksi berhubungan dengan penekanan
sistem imun
|
Setelah
dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam, resiko infeksi tidak
terjadi dengan kriteria hasil :
1. Terbebas
dari tanda dan gejala infeksi
2. Mengindikasikan
status imun dalam batas normal
|
1.
Pantau tanda dan gejala infeksi.
2.
Kaji faktor yang dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
3.
Anjurkan keluarga menjaga
kebrsihan (cuci tangan) sebelum berinteraksi dengan bayi
4.
Jelaskan rasional dan manfaat
serta efek samping imunisasi
|
1.
Mengetahui ada atau tidaknya infeksi
2.
Mengetahui kejadian yang meningkatakan terjadinya
infeksi
3.
Meminimalkan penyebaran bakteri dan infeksi
4.
Meyakinkan keluarga bahwa imunisasi sangat dibutuhkan
oleh bayi
|
8.
|
Resiko gangguan pertukaran gas
berhubungan dengan warna kulit tidak normal
|
Setelah
dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 2 x 24 jam, pertukaran gas
kembali adekuat
|
1.
Kaji suara paru, frekuensi napas,
kedalaman dan usaha napas.
2.
Pantau saturasi oksigen
3.
Observasi terhadap sianosis.
4.
Jelaskan pengguanaan alat bantu
yang diperlukan kepada keluarga
5.
Atur posisi untuk memaksimalkan
potensi ventilasi
|
1. Mengetahui
status perkembangan anak
2. Mengetahui
kenormalan dari oksigen dalam tubuh
3. Mengetahui
adanya sianosis baik perifer maupun sentral
4. Menurunkan
ketakutan keluarga karena tidak memahami mengenai penggunaan alat bantu
5. Dapat
memperbaiki atau mencegah terjadinya hipoksia
|
9.
|
Kurang
pengetahuan
berhubungan dengan kurangnya informasi
|
Setelah
dilakukan intervensi 1x 24jam keluarga mengerti tentang perjalanan penyakit
dan maksud dari therapi ditandai dengan pemahaman keluarga yang baik dan
terjadi
perubahan perilaku
|
1. Kaji
pengetahuan keluarga beri pendidikan kesehatan tentang penyebab dari ikhterus
beserta tanda gejalanya tanda-tandany.,
2. Beri
pengetahuan tentang pentingnya
perawatan dan pengobatan,
3. Beri
pengetahuan tentang terapi yang diberikan pada bayi
4. Berikan
penjelasan tentang pelayanan kesehatan yang harus dihubungi ketika pada situasi
tertentu.
5. Beri
pendidikan kesehatan tentang perawatan bayi dirumah.
6. Beri
pengetahuan tentang petingnya menjaga kebersihan di rumah dan pemenuhan
nutrisi yang optimal bagi bayi
7. Beri
pengetahuan tentang pentingnya menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan bayi
|
1. Mengetahui
tingakt pengetahuan keluarga terhadap kesehatan tentang penyebab dari
ikhterus beserta tanda gejalanya tanda-tandanya,
2. Keluarga
mengetahui tentang pentingnya
perawatan dan pengobatan,
3. Keluarga
mengetahui tentang terapi yang diberikan pada bayi
4. Keluarga
mengetahui tentang pelayanan kesehatan yang harus dihubungi ketika pada
situasi tertentu.
5. Keluarga mengetahui tentang
perawatan bayi dirumah.
6. Keluarga mengetahui petingnya
menjaga kebersihan di rumah dan pemenuhan nutrisi yang optimal bagi bayi
7. Keluarga mengetahui tentang
pentingnya menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan bayi
|
4.4 Implementasi
No
|
No
diagnosa
|
Pelaksanaan
|
1
|
1
|
1. Memantau
warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan
2. Mengobservasi
khususnya terhadap pemberian cairan yang tinggi elektolit (diare)
3. Mengidentifikasi
faktor-faktor yang berkontribusi terhadap buruknya dehidrasi
4. Memantau
status hidrasi (kelembabam membran mukosa, kekuatan nadi, tekanan darah
osmotik)
5. Menentukan
jumlah cairan yang masuk selama 24 jam
|
2
|
2
|
1.
Menganjurkan ibu untuk memberikan ASI atau formula
dengan perlahan selama 10 menit dengan perlahan
2.
Mengidentifikasi faktor pencetus mual dan muntah
3.
Mengajarkan keluarga tentang makanan bergizi yang
dan tidak mahal
4.
Memberi makan sesering mungkin sesuai indikasi
berdasarkan berat badan dan perkiraan kapasitas lambung
|
3
|
3
|
1.
Memantau warna kulit dan suhu ssetiap
8 jam
2.
Membersihkan kulit saat terkena
kotoran
3.
Meminimalkan pajanan kulit
terhadap kelembaban.
|
4
|
4
|
1.
Mengdentifikasi kebutuhan keamanan
pasien berdasarkan tingkat fungsi fisik, dan kognitif
2.
Menempatkan neonatus pada jarak 45
cm dari sumber cahaya
3.
Membiarkan neonatus dalam keadaan
telanjang kecuali mata, daerah pantat, dan alat genetalia ditutup dengan kain
yang dapat memantulkan cahaya
4.
Mematikan lampu, buka tutup mata
tiap 8 jam.
5.
Melakukan pemeriksaan terapi secara teratur
6.
Membuka penutup mata setiap akan
diberi susu
7.
Mengajak bicara, berinteraksi
orang tua, memberi sentuhan pada bayi selama perawatan
|
5
|
5
|
1.
Mengevaluasi tingkat ansietas,
catat nonverbal dan verbal
2.
Mendorong keluarga mengungkapkan
perasaanya
3.
Mengidentifikasi persepsi pasien/
keluarga tentang situasi
4.
Mengevaluasi mekanisme koping yang
digunakan
5.
Memberikan informasi penyakit dan
antisipasi tindakan
6.
Membeerikan pendidikan tentang
pentingnya perawatan dan pengobatan, penjelasan tentang pelayanan kesehatan
yang harus dihubungi, beri pendidikan keshatan tentang perawatan bayi
dirumah.
7.
Memberikan reinforcement positif
dan motivasi pada keluarga
|
6
|
6
|
1.
Mengidentifikasi kesiapan orang
tua untuk belajar mengenai perawatan bayi.
2.
Mengkaji kemampuan orang tua untuk
mengenali kebutuhan fisiologis bayi
3.
Mengkaji faktor yang dapat
menyebabkan munculnya masalah perlekatan
4.
Membantu orang tua untuk
bepartisipasi dalam perawatan bayi
5.
Mendorong orangtua untuk untuk menyentuh
dan berbicara dengan bayi baru lahir.
|
7
|
7
|
1.
Memantau tanda dan gejala infeksi.
2.
Mengkaji faktor yang dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
3.
Menganjurkan keluarga menjaga
kebrsihan (cuci tangan) sebelum berinteraksi dengan bayi
4.
Menjelaskan rasional dan manfaat
serta efek samping imunisasi
|
8
|
8
|
1.
Mengkaji suara paru, frekuensi
napas, kedalaman dan usaha napas.
2.
Memantau saturasi oksigen
3.
Mengobservasi terhadap sianosis.
4.
Menjelaskan pengguanaan alat bantu
yang diperlukan kepada keluarga
5.
Mengatur posisi untuk
memaksimalkan potensi ventilasi
|
9.
|
9
|
1. Mengkaji
pengetahuan keluarga beri pendidikan kesehatan tentang penyebab dari ikhterus
beserta tanda gejalanya tanda-tandany.,
2. Memberi
pengetahuan tentang pentingnya
perawatan dan pengobatan,
3. Memberi
pengetahuan tentang terapi yang diberikan pada bayi
4. Memberikan
penjelasan tentang pelayanan kesehatan yang harus dihubungi ketika pada
situasi tertentu.
5. Memberi
pendidikan kesehatan tentang perawatan bayi dirumah.
6. Memberi
pengetahuan tentang petingnya menjaga kebersihan di rumah dan pemenuhan
nutrisi yang optimal bagi bayi
7. Memberi
pengetahuan tentang pentingnya menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan bayi
|
4.5 Evaluasi
No
|
No
Diagnosa
|
Evaluasi
|
1
|
1
|
S
: keluarga pasien
mengatakan pasien diare pasien sudah sedikit berkurang, bibir pasien tidak
terlihat pucat
O
: Bibir pasien
tidak terlihat pucat, turgor kulit baik
A
: Tujuan tercapai sebagian
P : lanjutkan tindakan keperawatan serta kolaborasi dengan dokter
|
2
|
2
|
S
: keluarga
pasien mengatakan pasien sudah mau makansedikit, mual muntah mulai berkurang
O
: pasien tampak
tidak pucat, berat badan pasien bertambah sedikit
A
: tujuan telah tercapai sebagian
P : lanjutkan tindakan keperawatan serta kolaborasi dengan ahli gizi
|
3.
|
3
|
S
: pasien
mengatakan pasien masih sering merasa gatal-gatal dikulit
O
: pasien sering
terlihat menggaruk kulit, kulit pasien masih kekuningan
A
: pasien gatal
karena hiperbilirubin
P : lanjutkan tindakan keperawatan. |
4.
|
4
|
S
: ibu pasien
mengatakan kulit bayinya tidak melepuh
O
: tidak terdapat
tanda-tanda
gangguan akibat dari fototerapi seperti iritasi mata, kulit tidak melepuh, kulit tidak mengalami
perubahan warna.
A
: tujuan telah tercapai
P : hentikan tindakan keperawatan |
5.
|
5
|
S
: orang tua
pasien mengatakan sudah tidak cemas mengetahui kondisi anaknya
O
: orang tua
pasien tidak terlihat cemas, terlihat tenang, mau kooperatif
A
: tujuan telah tercapai
P : hentikan tindakan keperawatan |
6.
|
6
|
S
: orang tua pasien mengatakan sudah
tidak canggung lagi dan paham cara merawat anaknya. orang tua pasien terlihat cemas, canggung, terlihat kebingungan dalam
merawat anak
O: orang tua pasien tidak terlihat kebingungan, tidak canggung dan
terlihat terampil dalam merawat anaknya
A : tujuan telah tercapai
P :
hentikan tindakan keperawatan
|
7.
|
7
|
S
: orang tua pasien mengatakandemam
pada anaknya sudah mulai turun
O
: orang tua pasien sudah tidak terlihat cemas
A
: tujuan telah tercapai sebagian
P : lanjutkan tindakan keperawatan
|
8.
|
8
|
S
: ibu pasien mengatakan anaknya masih sesak napas tapi hanya pada malam hari
O
: masih terlihat adanya otot bantu pernapasan
A
: tujuan telah tercapai sebagian
P : lanjutkan tindakan keperawatan |
9.
|
9
|
S
: keluarga pasien
mengatakan sudah memahami penyakit
yang diderita anaknya, dan cara penangannanya.
O
: keluarga pasien terlihat tenang, mampu menguraikan kembali pendidikan
kesehatan yang telah disampaikan perawat
A
: tujuan telah tercapai
P : hentikan tindakan keperawatan |
BAB
5.
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Ikterus adalah kondisi di mana tubuh memiliki terlalu banyak bilirubin sehingga kulit dan sclera mata menjadi
kuning. Bilirubin adalah bahan kimia kuning di hemoglobin, zat yang
membawa oksigen dalam sel darah merah. Bila sel-seldarahmerah rusak, tubuh
akan membangun sel-sel baru di liver (hati) untuk
menggantikannya. Jika hati tidak dapat menangani sel-sel darah merah yang
rusak, bilirubin menumpuk di dalam tubuh dan kulit sehingga akan terlihat
kuning. Orang awam menyebut ikterus dengan penyakit kuning.
Bayi sehat banyak yang memiliki ikterus selama beberapa minggu
pertama kehidupannya. Kondisi ini biasanya menghilang sendiri. Namun, ikterus
dapat terjadi pada usia berapapun dan dapat menjadi tanda masalah berikut:
penyakit darah, sindrom genetic, penyakit hati, seperti hepatitis atau sirosis, penyumbatan
saluran empedu, infeksi, obat-obat.
5.2
Saran
Penatalaksanaan
yang benar mengenai penyakit Ikterus pada anak harus difahami dengan benar oleh
seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya tujuan yang
diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara pasien,
keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi
kemungkinan yang terjadi.Diharapkan dengan hadirnya makalah ini, mahasiswa
maupun praktisi kesehatan dapat lebih memahami asuhan keperawatan pada anak
dengan ikterus dan dapat mengimplementasikan dengan benar.
DAFTAR
PUSTAKA
Betz, C.
L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatrik, EGC, Jakarta.
Doenges,
Marilynn, E., 2002, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, EGC, Jakarta.
Handoko,
I.S. 2003. Hiperbilirubinemia. Klinikku. http://www.klinikku.com/pustaka/dasar/hati/hiperbilirubinemia3.html.
Hidayat,
A. A., 2005, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, Salemba Medika, Jakarta.
Mansjoer,
Arif, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FK-UI, Jakarta.
Solahudin,
G. 2006. Kapan Bayi Kuning Perlu Terapi?.
http://tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=08392&rubrik=bayi.
Staf
Pengajar IKA FK UI. 1985.Ilmu Kesehatan
Anak Jilid 2.Jakarta:Info Medika
Staf Pengajar IKA FK UI. 1985.Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3.Jakarta:Info
Medika
Tarigan,
M. 2003 Asuhan Keperawatan dan Aplikasi Discharge Planning Pada Klien dengan
Hiperbilirubinemia. FK Program Studi Ilmu Keperawatan Bagian Keperawatan
Medikal Bedah USU. Medan. http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/04/05/nrs,20040405-01,id.html
Wilkinson,
J. W 2006, Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan kriteria
hasil NOC, EGC, Jakarta.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27163/5/Chapter%20I.pdf (diakses pada
tanggal 3Maret 2015)
http://www.smallcrab.com/anak-anak/535-mengenal-ikterus-neonatorum (diakses pada
tanggal 3Maret 2015)
http://www.dokterbedahherryyudha.com/2013/04/pendekatan-diagnosa-pada-ikterus-dan.html (diakses pada
tanggal 3Maret 2015)
http://www.kerjanya.net/faq/4653-ikterus-neonatorum.html (diakses pada
tanggal 27 Maret 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar